Selasa, 21 Februari 2012

implementasi dan manajemen berbasis sekolah


BAB I
PENDAHULUAN

Manajemen Berbasis Sekolah atau School Based Management, School Based Decision Making and Management oleh Hallinger dan Hausman (1992) didefinisikan sebagai pemberian kewenangan kepada sekolah untuk bebas menata organisasi sekolah, manajemen persekolahan, pengelolaan kelas, optimalisasi kerjasama (kepala sekolah, orangtua dan guru) dan pemberian kesempatan yang kreatif dan inovarif kepada sekolah. Istilah School based management atau Manajemen Berbasis Sekolah ini mulai diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1970. MBS lahir sebagai koreksi atas kinerja sekolah yang dalam hasil analisis para pakar tidak mampu memberi respon kontekstual atas tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
Di Indonesia MBS mulai diperkenalkan tahun 1999 oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui Proyek perintisan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), sehingga MBS merupakan model otonomi pendidikan yang diterapkan di sekolah. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah salah satu strategi wajib yang Indonesia tetapkan sebagai standar dalam  mengembangkan keunggulan  pengelolaan sekolah. Penegasan ini dituangkan dalam USPN Nomor 20 tahun 2003 pada pasal 51 ayat 1 bahwa pengelolaan satuan pendidikan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
MBS merupakan model aplikasi manajemen institusional yang mengintegrasikan  seluruh sumber  internal dan eksternal  dengan lebih menekankan pada pentingnya menetapkan kebijakan melalui  perluasan otonomi sekolah. Sasarannya adalah mengarahkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan dalam rangka mencapai tujuan. Spesifikasinya berkenaan dengan visi, misi, dan tujuan yang dikemas dalam pengembangan kebijakan dan perencanaan. (Wikipedia, 2009).
Dalam makalah ini, kami akan menjelaskan Implementasi MBS, Model- Model MBS, serta beberapa Model MBS yang telah diimplementasikan di negara- negara lain. Dimana pada sistem MBS, sekolah dituntut untuk bisa mandiri dalam menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Jadi, diharapkan MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang memberikan sebuah penawaran kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik.














BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) perlu dilakukan karena sekolah perlu berkembang dari tahun ke tahun. Dimana peningkatan mutu pendidikan di sekolah perlu didukung kemampuan manajerial kepala sekolah dan hubungan baik antar guru perlu diciptakan agar terjalin iklim dan suasana kerja yang kondusif dan menyenangkan. Demikian halnya penataan penampilan fisik dan manajemen sekolah perlu dibina agar sekolah menjadi lingkungan yang dapat menumbuhkan kreativitas, disiplin dan semangat belajar peserta didik.
Tujuan Impelentasi MBS yaitu untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kurikulum, sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kapendidikan lainnya, dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum. Bagi sumber daya manusia, peningkatan kualitas bukan hanya meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, melainkan meningkatkan kesejahteraan pula. ( Cheng, 1996). Dengan adanya penerapan MBS ini telah terjadi perubahan kebutuhan siswa sebagai bekal untuk terjun kedalam masyarakat luas di masa mendatang di banding di masa lalu. Oleh karena itu pelayanan kepada siswa, program pengajaran dan jasa yang diberikan kepada siswa juga harus sesuai dengan tuntutan baru tersebut.
Dalam rangka mengimplementasikan MBS maka sekolah harus melibatkan semua unsur yang ada mulai dari kepala sekolah, guru, masyarakat, sarana prasarana serta unsur terkait lainnya. Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efesien apabila didukung oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoperasikan sekolah, dana yang cukup besar agar sekolah mampu menggaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana prasarana yang memadai untuk proses belajar- mengajar, serta dukungan masyarakat ( orang tua) yang tinggi.
Sebagai paradigma pendidikan yang baru maka dalam implementasinya Manajemen Berbasis Sekolah melalui beberapa tahapan. Menurut Fatah tahapan implementasi tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Tahap Sosialisasi
Tahap sosialisais merupakan tahapan yang penting mengingat luasnya daerah yang ada terutama daerah yang sulit dijangkau serta kebiasaan masyarakat yang umumnya tidak mudah menerima perubahan karena perubahan yang bersifat personal maupun organisasional memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang baru. Dengan adanya sosialisasi ini maka akan mengefektifkan pencapaian implementasi Manajemen Berbasis Sekolah baik menyangkut aspek proses maupun pengembangannya di sekolah.
2. Tahap Piloting
Tahapan piloting yaitu merupakan tahapan ujicoba agar penerapan konsep MBS tidak mengandung resiko. Efektivitas model ujicoba memerlukan persyaratan dasar yaitu akseptabilitas, akuntabilitas, reflikabilitas, dan sustainabilitas.
3. Tahap Diseminasi
Tahapan desiminasi merupakan tahapan memasyarakatkan model Manajemen Berbasis Sekolah yang telah diujicobakan ke berbagai sekolah agar dapat mengimplementasikannya secara efektif dan efisien.
Dengan adanya implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di sekolah yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi akan memberikan beberapa keuntungan yaitu :
1.    Kebijaksanaan dan kewengan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru.
2.    Bertujuan bagaimana memanfatkan budaya lokal.
3.    Efektif dalam melakukan pembinaan peeserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, dan iklim sekolah.
4.    Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang sekolah dan perubahan perencanaan (Fattah dalam E. Mulyasa, 2002:24-25).
Sedangkan keuntungan dari adanya penerapan model MBS menurut Drs. Nur kholis, M.M, dalam bukunya Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model, Dan Aplikas, adalah :
§  Secara formal MBS dapat memahami keahlian dan kemampuan orang-orang yang bekerja di sekolah.
§  Meningkatkan moral, moral guru harus meningkatkan karena  adanya komitmen dan tanggung jawab dalam setiap pengambilan keputusan di sekolah.
§  Keputusan yang diambil oleh sekolah memiliki akuntabilitas. Hal ini terjadi karena kostituen sekolah memiliki andil yang cukup dalam setiap pengambilan keputusan.
§  Menyesuaikan sumber daya  keuangan terhadap tujuan instruksional yang dikembangkan di sekolah. Keputusan yang di ambil pada tingkat sekolah yang akan lebih rasional karena mereka tahu kekuatan sendiri, terutama kekuatan keunganan.
§  Menstimulasi munculnya pemimpin baru di sekolah. Pengambilan keputusan ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya peran seorang pemimpi.
§  Meningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksibelitas komunikasi sekolah dalam rangka mencapai kebutuhan sekolah. Kebersamaan dalam pemecahan masalah di sekolah telah memperlancar alur komunikasi di antar warga sekolah.


            Sekolah memerlukan pedoman-pedoman sebagai pendukung untuk menjamin terlaksananya pengelolaan MBS yang mengakomodasi kepentingan otonomi sekolah, kebijakan pemerintah, dan partisipasi masyarakat. Implementasi MBS memerlukan seperangkat peraturan dan pedoman-pedoman ( guadelines) umum yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam perencanaan, monitoring, dan evaluasi, serta laporan pelaksanaan. Rencana sekolah merupakan salah satu perangkat terpenting dalam pengelolaan MBS. Rencana sekolah merupakan perencanaan sekolah untuk jangka waktu tertentu, yang disusun oleh sekolah sendiri bersama dewan sekolah.
            Keberhasilan Implementasi MBS sangat bergantung pada kemampuan dan kemauan politik pemerintah ( political will) sebagai penanggung jawab pendidikan. Kalau kemauan politik pemerintah sudah ada, pelaksanaannya sangat bergantung pada bagaimana kesiapan pelaksana dan perumus kebijakan dapat memperkecil kelemahan yang mungkin muncul dan mengeksplorasi manfaat semaksimal mungkin.
            Faktor pendukung kesuksesan implementasi MBS : 1. Pemerintah (political will), 2. Dukungan financial dari pemerintah dan masyarakat yang peduli pendidikan, 3. Ketersedian sumber daya manusia yang mendukung implementasi MBS, 4. Budaya sekolah, 5. Kepemimpinan yang efektif.

B.  MODEL - MODEL MBS

Model MBS menempatkan sekolah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam menerapkan kebijakan, visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi yang berdampak terhadap kinerja sekolah. Kinerja sekolah sangat ditentukan oleh kebijakan yang ditetapkan oleh sekolah, menyangkut pengembangan kurikulum. Berikut model-model yang telah diklasifikasikan oleh  Yin Cheong Cheng dalam bukunya School Effectiveness&School-Based Manajement: A Mechanism For Development :
1.    Model Tujuan ( Goal Model )
Goal Model sering digunakan dalam mengevaluasi kinerja sekolah atau mempelajari efektivitas sekolah.  Model ini mengasumsikan bahwa harus ada tujuan yang dinyatakan dengan jelas dan diterima secara umum untuk mengukur efektivitas sekolah, dan efektifitas sekolah akan tercapai jika dapat mencapai tujuan yang dinyatakan pada input. Model ini berguna jika hasil belajar (outcomes) bagus dan kriteria efektivitas umum diterima oleh semua konstituen yang terlibat. Dalam hal ini indikator efektivitas sekolah tercantum dalam rencana sekolah dan rencana program, khususnya yang berkaitan dengan kualitas lingkungan belajar dan mengajar, prestasi akademik dalam ujian umum, dll.
Ketika goal model digunakan untuk menilai efektifitas sekolah, penting sekali untuk memasukkan seperangkat tujuan dan sasaran. Tetapi mengingat sumber daya yang terbatas, akan sulit bagi sekolah untuk mencapai beberapa tujuan dalam waktu singkat (cameron, 1978; Hall, 1987). Bagaimanapun juga, akan sulit untuk memaksimalkan efektifitas pada beberapa tujuan dengan sumber daya terbatas.
2.   Model Sumber Daya Masukkan ( Resource-input Model)
Sekolah perlu untuk mengejar beberapa tujuan, tetapi karena adanya tekanan dan harapan yang berbeda dari beberapa konstituen sehingga tujuan tersebut menjadi tidak konsisten. Sumber daya (Resources) menjadi elemen penting dalam fungsi sekolah. Model sumber daya-masukan (The resource-input model) mengasumsikan bahwa semakin jarang dan bernilai sumber daya input, maka akan semakin dibutuhkan oleh sekolah untuk menjadi lebih efektif. Sebuah sekolah akan efektif jika dapat memperoleh sumber daya yang dibutuhkan. Oleh karena itu, masukan dan kemahiran sumber daya menjadi kriteria utama dari efektifitas (Etzioni, 1969; Yuchtman dan Seashore, 1967). Dalam hal ini, kualitas siswa, fasilitas, sumber daya, dan dukungan keuangan dari otoritas pendidikan pusat, alumni, orang tua, sponsor perseorangan atau agen luar merupakan indikator penting dari efektivitas.
Model ini berguna jika hubungan antara input dan output yang jelas (Cameron, 1984) dan sumber daya yang sangat terbatas bagi sekolah untuk mencapai tujuan. Kemampuan dalam memperoleh sumber daya merepresentasikan potensi sekolah itu menjadi efektif, khususnya dalam konteks kompetisi sumber daya yang besar. Model ini memiliki kekurangan karena penekanan yang berlebihan pada penerimaan masukan ( input ), sehingga dapat mengurangi upaya sekolah dalam proses pendidikan dan  outputnya. Perolehan sumber daya dapat menjadi pemborosan jika mereka tidak dapat digunakan secara efisien untuk melayani fungsi sekolah.

3.       Model proses ( Process Model )
Dari perspektif sistem, input sekolah dapat dikonversi menjadi kinerja sekolah dan output-nya melalui sebuah proses transformasi di sekolah. Pengalaman dalam proses sekolah pada dunia pendidikan sering diambil sebagai bentuk tujuan dan hasil belajar. Oleh karena itu, model proses mengasumsikan bahwa sekolah akan efektif jika fungsi internal ramah dan sehat. Oleh karena itu, kegiatan internal atau praktek di sekolah dapat ditentukan sebagai peraturan penting bagi efektivitas sekolah (Cheng, 1986b; 1993h; 1994d).  Dalam hal ini, kepemimpinan, saluran komunikasi, partisipasi, kemampuan beradaptasi, perencanaan, pengambilan keputusan, interaksi sosial, iklim sekolah, metode pengajaran, manajemen kelas dan strategi pembelajaran sering digunakan sebagai indikator efektivitas.
Proses sekolah pada umumnya mencakup proses manajemen, proses mengajar dan proses belajar. Jadi pemilihan indikator mungkin didasarkan pada proses ini, diklasifikasikan sebagai indikator keefektifan pengelolaan (misalnya, kepemimpinan, pengambilan keputusan), indikator efektivitas mengajar (misalnya, mengajar kemanjuran, metode mengajar) dan indikator efektifitas pembelajaran (misalnya, sikap belajar , tingkat kehadiran).
Model ini sangat berguna jika ada hubungan yang jelas antara proses sekolah dan hasil pendidikan. Untuk batas tertentu, penekanan yang terletak pada kepemimpinan dan budaya sekolah untuk efektivitas sekolah mencerminkan pentingnya model proses (Caldwell dan Spink, 1992; Cheng, 1994d; Sergiovanni, 1984). Keterbatasan model proses adalah kesulitan dalam proses pemantauan dan pengumpulan data serta fokus pada sarana bukan tujuan akhir (Cameron, 1978).
4.       Model Kepuasan ( The Satisfaction Model )
Efektivitas sekolah dapat menjadi konsep yang relatif, tergantung pada harapan dari konstituen yang bersangkutan atau beberapa pihak. Jika tujuan sekolah yang diharapkan tinggi dan beragam, akan sulit bagi sekolah untuk mencapai dan memenuhi kebutuhannya. Jika tujuan sekolah yang diharapkan rendah dan sederhana, akan lebih mudah bagi sekolah untuk mencapainya dan memenuhi harapan konstituen, sehingga sekolah lebih mudah dianggap sudah efektif.  
Selanjutnya, ukuran pencapaian tujuan secara teknis biasanya sulit dan terkonsep secara kontoversional. Oleh karena itu, kepuasan konstituen yang kuat dan strategis sering digunakan sebagai elemen penting untuk menilai efektivitas sekolah. Baru-baru ini, ada penekanan kuat pada kualitas pendidikan sekolah. Pada kenyataannya, konsep kualitas erat kaitannya dengan kepuasan kebutuhan klien (atau pelanggan, konstituen) atau kesesuaian persyaratan dan harapan klien' (Crosby, 1979; Tenner and Detoro, 1992). Dari poin ini ditekankan bahwa untuk meningkatkan mutu pendidikan dapat dicapai dengan menggunakan kepuasan konstituen dalam menjelaskan dan menilai keefektivitasan sekolah.
Model kepuasan mendefinisikan bahwa sekolah akan efektif jika semua konstituen strategis puas. Ini mengasumsikan bahwa fungsi dan kelangsungan hidup sekolah berada di bawah pengaruh konstituen strategis, misalnya, kepala sekolah, guru, manajemen sekolah, otoritas pendidikan, orang tua, siswa dan masyarakat, dan aktivitas/tindakan sekolah mereaksian akan tuntutan konstituen strategis. Karenanya tuntutan kepuasan ini sebagai syarat dasar untuk efektivitas sekolah (Keeley, 1984; Zammuto, 1982; 1984)
Model ini mungkin berguna dalam mempelajari efektivitas sekolah jika harapan semua konstituen yang kuat dapat disatukan dan sekolah harus merespon harapan tersebut. Indikator efektivitas berupa kepuasan siswa, guru, orangtua, administrator, otoritas pendidikan, komite manajemen sekolah, atau alumni, dll.  Namun, model tidak tepat jika adanya konflik pada tuntutan/harapan konstituen dan tidak dapat dipenuhi pada saat yang sama.
5.       Model Legitimasi ( The Legitimacy Model )
Dampak perubahan dan perkembangan yang cepat di masyarakat lokal maupun dalam konteks global menyebabkan lingkungan pendidikan di sekolah-sekolah menjadi lebih menantang dan kompetitif. Di satu sisi, sekolah harus serius untuk menyelesaikan sumber daya dan mengatasi hambatan internal dan di sisi lain mereka harus menghadapi tantangan eksternal dan tuntutan akuntabilitas dan 'nilai uang (value for money)' (Education and Manpower Branch and Education Department, 1991; Education Commision, 1994). Hal ini menyebabkan (hampir) tidak mungkin bagi beberapa sekolah untuk bertahan atau melanjutkan tanpa legitimasi dalam masyarakat atau publik.
Dalam rangka mendapatkan sumber daya  dan kelangsungan hidup, sekolah harus menunjukkan bukti pertanggungjawaban (akuntabilitas), memenuhi persyaratan masyarakat dan mendapatkan dukungan dari konstituen yamg penting. Indikator efektivitas dalam the legitimate model  sering berhubungan dengan kegiatan dan keunggulan public relations dan pemasaran, pertanggungjawaban (akuntabilitas), citra sekolah, reputasi, atau status sekolah dalam masyarakat, dll.
Model ini berguna ketika sekolah harus bertahan di antara sekolah harus dinilai dalam lingkungan yang dinamis. Dari sudut pandang model ini, sekolah-sekolah akan efektif jika mereka dapat melakukan kegiatan belajar mengajar dalam lingkungan yang kompetitif/bersaing. Untuk tetap bertahan, sekolah juga menerapan sistem akuntabilitas atau sistem jaminan mutu yang menyediakan mekanisme formal bagi sekolah untuk mendapatkan legitimasi yang diperlukan. Hal ini dapat menjelaskan mengapa begitu banyak sekolah sekarang lebih memperhatikan hubungan masyarakat, kegiatan pemasaran dan membangun sistem berbasis sekolah akuntabilitas atau sistem jaminan kualitas.
6.    Model ketidakefektifan ( The Ineffectiveness Model ).
Kesulitan mengidentifikasi kriteria yang tepat seringkali menjadi masalah yang paling penting dalam penelitian efektifitas organisasi secara umum dan dalam penelitian efektifitas sekolah pada khususnya (Cameron ;1984). Salah satu kesulitan terpenting adalah bagaimana mengidentifikasi indikator keberhasilan. Tampaknya jauh lebih mudah untuk mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan, seperti indikator ketidakefektifan, daripada mengidentifikasi kekuatan dari organisasi, seperti indikator efektivitas.
Telah dibuktikan bahwa 'perubahan dan pengembangan organisasi lebih termotivasi oleh pengetahuan tentang masalah daripada pengetahuan tentang keberhasilan' (Cameron, 1984: 246). Oleh karena itu, Cameron menyarankan bahwa 'suatu pendekatan untuk menilai ketidakefektifan organisasi sebagai pengganti efektifitas yang dapat membantu memperluas pemahaman kita tentang konstruksi efektivitas organisasi' (p.247). Dari ide ini, model ketidakefektifan menggambarkan efektivitas sekolah dari sisi negatif dan mendefinisikan bahwa pada dasarnya sekolah akan efektif jika ada tidak ada karakteristik ketidakefektifan di sekolah.
Model ini mengasumsikan bahwa lebih mudah bagi konstituen sekolah yang bersangkutan untuk mengidentifikasi dan menyepakati kriteria ketidakefektifan sekolah daripada kriteria keefektifan sekolah. Juga mengidentifikasi strategi untuk meningkatkan efektivitas sekolah dapat lebih tepat dilakukan dengan menganalisis ketidakefektifan sekolah daripada menganalisis keefektifan sekolah. Oleh karena itu, model ini sangat berguna terutama bila kriteria efektivitas sekolah benar-benar jelas namun diperlukan srategi untuk perbaikan sekolah. Indikator ketidakefektifan dapat seperti masalah, kesulitan, kekurangan, kelemahan dan kinerja yang buruk. Secara umum, banyak sekolah, khususnya sekolah baru, lebih peduli kepada penyelesaian hambatan sebagai dasar efektivitas sekolah daripada mengejar kinerja sekolah yang sangat baik. Model ini mungkin cocok bagi mereka. Bagi praktisi seperti administrator sekolah dan guru, model ketidakefektifan mungkin lebih mendasar dari model-model lain. Tampaknya 'tidak ada ketidakefektifan' mungkin menjadi kebutuhan dasar untuk efektivitas. Tetapi jika orang lebih tertarik pada kinerja sekolah tinggi, model ini tidak mencukupi.
7.       Model Pembelajaran organisasi. ( Organizational Learning Model )
Model pembelajaran organisasi mengasumsikan bahwa dampak dari perubahan lingkungan dan adanya hambatan internal pada fungsi sekolah sangat tidak terelakkan, karena itu, sekolah akan efektif jika dapat belajar bagaimana membuat perbaikan dan beradaptasi terhadap lingkungannya. Dalam batas tertentu, model ini mirip dengan model proses, perbedaannya adalah bahwa model ini menekankan pentingnya belajar perilaku untuk kinerja sekolah yang efektif.
Penekanan garis pemikiran model ini terletak pada stategi manajemen dan perencanaan pembangunan di sekolah (Dempster, et al, 1993; Hargreaves and Hopkins, 1991). Model sangat berguna ketika sekolah sedang mengembangkan diri atau terlibat dalam reformasi pendidikan terutama di lingkungan eksternal yang berubah-ubah. Indikator efektivitas sekolah dapat mencakup kesadaran dan perubahan kebutuhan masyarakat, pemantauan proses internal, evaluasi program, analisis lingkungan, dan perencanaan pembangunan, dll.
Di negara-negara atau wilayah berkembang, ada banyak sekolah menengah baru karena perluasan pendidikan tingkat menengah. Sekolah-sekolah baru harus menghadapi banyak masalah dalam proses membangun struktur organisasi pendidikan, berhadapan dengan siswa berkualitas buruk, pengembangan staf, dan melawan pengaruh buruk dari masyarakat (Cheng, 1985). Begitu juga, perubahan pada ekonomi dan lingkungan politik membutuhkan adaptasi yang efektif dari sistem sekolah dalam hal perubahan kurikulum, manajemen perubahan dan perubahan teknologi (Cheng, 1995b). Dalam latar belakang seperti itu, model pembelajaran organisasi mungkin tepat untuk mempelajari efektivitas sekolah. Manfaat model ini akan terbatas jika hubungan antara proses dan hasil pembelajaran organisasi sekolah tidak jelas. Namun proses pembelajaran organisasi bisa menjanjikan tampilan yang dinamis untuk memaksimalkan efektivitas pada beberapa tujuan sekolah.
8.    Model Manajemen Mutu Total ( The Total Quality Management Model ).
Konsep dan praktek manajemen mutu total di sekolah diyakini menjadi alat yang ampuh untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan meningkatkan efektivitas sekolah (Bradly,1993; Cuttance, 1994; Greenwood and Gaunt, 1994; Murgatroyd and Colin, 1993). Karena adanya perkembangan teori dan praktek manajemen dalam organisasi yang berbeda, orang mulai percaya bahwa perbaikan beberapa aspek dari proses manajemen tidak cukup untuk mencapai kualitas. Untuk keberhasilan jangka panjang kuncinya terletak kualitas atau efektivitas kinerja, manajemen total dari lingkungan internal dan proses untuk memenuhi kebutuhan pelanggan (atau klien, konstituen strategis).
Elemen-elemen penting dari manajemen kualitas total di sekolah adalah konstituen strategis (misalnya, orangtua, siswa, dll), perbaikan proses yang berkesinambungan, serta pemberdayaan dan keterlibatan total anggota sekolah ( Tenner and Detoro, 1992). Menurut model manajemen total, sekolah efektif jika dapat melibatkan dan memberdayakan semua anggota dalam fungsi sekolah, melakukan perbaikan terus-menerus dalam berbagai aspek yang memenuhi persyaratan, kebutuhan  serta harapan konstituen eksternal dan internal sekolah bahkan dalam lingkungan yang berubah- ubah. Untuk sebagian besar, model manajemen kualitas total efektivitas sekolah merupakan integrasi dari model- model di atas, khususnya model pembelajaran organisasi, model kepuasan dan model proses.
Bidang utama untuk menilai efektivitas sekolah dalam Manajemen kualitas total menurut kerangka kerja Malcolm Baldrige Award atau European Quality Award, dapat mencakup kepemimpinan, manajemen manusia, manajemen proses, informasi dan analisis, perencanaan kualitas strategi, internal kepuasan konstituen, eksternal kepuasan konstituen, hasil operasional, hasil pendidikan siswa dan dampaknya terhadap masyarakat (Fisher, 1994; George, 1992). Dibandingkan dengan model lain, model manajemen kualitas total memberikan perspektif yang lebih holistik atau komprehensif untuk memahami dan mengelola efektivitas sekolah.
Seperti dibahas di atas, masing-masing dari delapan model memiliki itu kekuatan sendiri dan keterbatasan. Dalam situasi yang berbeda dan bingkai waktu yang berbeda, model yang berbeda mungkin berguna untuk mempelajari efektivitas sekolah. Secara relatif model pembelajaran organisasi dan model manajemen mutu total tampaknya lebih menjanjikan untuk pencapaian fungsi beberapa sekolah pada tingkat yang berbeda.
C. IMPLEMENTASI MODEL MBS DI BERBAGAI NEGARA
Semua model MBS yang muncul mengarah pada satu titik, yaitu meningkatkan mutu sekolah dan pendidikan. Munculnya model MBS di tiap-tiap negara tidak terlepas dari sejarah pendidikan negara tersebut. Mulanya terdapat kelemahan pada bidang tertentu yang kemudian di fokuskan untuk ditingkatkan kinerjanya. Beberapa negara cukup jeli dalam menganalisis kelemahannya sehingga mampu membuat model MBS secara jelas dan fokus, namun di beberapa negara model MBS kurang fokus dan melebar.

1.    Model MBS di Hongkong
Di Hongkong MBS disebut The School Management Initiatif (SMI) atau sekolah manajemen sekolah inisiatif. Latar belakang munculnya MBS di Hongkong adalah karena kondisi pendidikan yang kurang baik sehingga perlu adanya perbaikan. Struktur dan manajemen yang tidak memadai, peran dan tanggung jawab masing-masing pihak kurang dijabarkan secara jelas, kurang memadainya alat pengukuran prestasi, saat itu masih dipentingkan kontrol secara ketat namun kurangnya kerangka kerja tanggung jawab dan akuntabilitas, dan lebih mementingkan kontrol pembiayaan daripada efektivitas pembiayaan.
            Prinsip-prinsip MBS di Hongkong yang di usulkan adalah perlunya telaah ulang secara terus menerus terhadap pembelanjaan anggaran pemerintah, perlunya evaluasi secara sistematis terhadap hasil, hubungan yang erat antara tanggung jawab sumber daya dan tanggung jawab manajemen, perlu adanya organisasi dan kerangka kerja yang sesuai, hubungan yang jelas antara pembuat kebijakan dengan agen-agen pelaksana.

2.    Model MBS di Kanada
Model MBS di Kanada adalah School-site Decision Making (SSDM) atau pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat sekolah. Di mulai pada tahun 1970 dengan tujuh sekolah sebagai pecobaan . desentralisasi yang diberikan kepada sekolah adalah alokasi sumber daya bagi staf pengajar dan administrasi, peralatan dan pelayanan. Pada tahun 1980-1981di adopsi secara besar-besaran ke berbagai sekolah dengan pendekatan manajemen mandiri.
Menurut Sungkowo (2002), ciri-ciri MBS di Kanada sebagai berikut : penentuan alokasi sumber daya ditentuakan sekolah, anggaran pendidikan diberikan secara lumpsum, alokasi anggaran pendidikan tersebut di masukkan ke dalam anggaran sekolah, adanya program efektivitas guru dan adanya program profesionalisme tenaga kerja.   
Penekanan model MBS di kanada ini dalam hal pengambilan keputusan diserahkan kepada masing-masing sekolah secara langsung. Akan tetapi terbatas pada beberapa hal saja, yaitu yang menyangkut pengangkatan, promosi, penghargaan dan penghentian tenaga guru dan administrasi, pengadaan perlatan sekolah, pelayanan kepada pelangganan sekolah.
Sebelum diterapkan MBS tiga bidang yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Pertama, pengadaan pegawai sekolah semuanya diangkat dari pusat. Kedua, pengadaan peralatan seperti buku, alat tulis dan baha praktik laboratorium semuanya didrop dari pusat. Ketiga, pelayanan pendidikan kepada pelanggan semuanya telah distandarkan dari pusat mulai ditinggalkan. 

3.    Model MBS di Amerika Serikat
Penerapan MBS secara serius di Amerika Serikat terjadi pada saat adanya gelombang reformasi pendidikan tahap kedua, yaitu pada tahun 1980an. Era itu merupakn kelanjutan reformasi yang terjadi pada tahun 1970an pada saat sekolah-sekolah di dsitrik menerapkan Side-Based Management.
Sistem pendidikan di Amerika Serikat, mula-mula secara konstitusional pemerintah pusat (State) bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dan pemerintah daerah (district) hanya sebagai unit pembuatan kebijakan dan administrasi. Pemerintah federal memiliki peran terbatas bahkan semakin berkurang perannya. Terutama pada area khusus, yaitu dukungan pendanaan.
Saat itu muncul berbagai rekomendasi baik dari individu maupun organisasi yang berpengaruh untuk mengadopsi MBS.  Dukungan datang dari Asosiasi Gubernur Nasional (National Governor’s Association), persatuan guru terbesar di Amerika Serikat, yaitu The National Education Asssociation dan asosiasi kepala sekolah menengah pertama  (The National Association of secondary school Principal). Mereka menyarankan bahwa sebagai syarat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan maka otoritas pengambilan keputusan harus berada pada tingkat sekolah melihat sejarah kemunculannya seperti tersebut itu maka model MBS di Amerika Serikat disebut dengan Site-Based Management, sebgaiamana dikemukakan Reynolds (1997)   

4.    Model MBS di Inggris
Kebijakan pemerintahan Thatcher (1986) memberi bukti yang paling nyata dalam reformasi pendidikan di Inggris saat itu si tangan besi tersebut mengemukakan bahwa keseimbangan otonomi, kekuasaan dan akuntabilitas pendidikan sedang dilakukan definisi ulang. Beberapa inisiatif reformasi pendidikan kemudain dimasukkan ke dalam Undang-Undang Pendidikan (Education Act) tahun 1988, antara lain berisi adanya kurikulum inti nasional, adanya ujian nasional, serta pelaporan nasional.
Kontrol terhadap anggaran sekolah diberikan kepada lembaga pengelola/pengawas beserta para kepala sekolah menengah atas (secondary school) dan sebgaian sekolah dasar (primary school) dalam waktu lima tahun. Sementara itu, bantuan dana pendidikan dari pemerintah pusat diberikan langsung kepada masing-masing sekolah. Itulah kiranya mengapa model MBS di Inggris disebut Grant Maintained School (GMS) atau manajemen dana swakelola pada tingkat lokal.
Dengan adanya Undang-Undang pendidikan tersebut terjadi enam perubahan struktural guna memfasilitasi pelaksanaan MBS sebagaimana dikemukakan oleh Sungkowo (2002). Pertama, kurukulum nasional untuk mata pelajran inti ditentukan oleh Whitehell (pemerintah). Kedua, ujian nasional (sejenis evaluasi belajar tahap akhir nasional di indonesia) dilaksanakan atau diterapkan untuk siswa kelas 7, 11, 14, 16. Ketiga, MBS dibentuk untuk mengembangkan otoritas pendidikan lokal agar dapat memperoleh dana bantuan dari pemerintah. Keempat, dibuatlah sekolah lanjutan teknik. Kelima, kewenangan Inner London Education dilimpahkan kepada tiga belas otoritas pendidikan. Keenam, skema manajeman sekolah lokal dibentuk dengan melibatkan beberapa pihak terkait, sepeti (a) peran serta secara terbuka pada masing-masing sekolah dalam otoritas pendidikan lokal, (b) alokasi sumber daya dirumuskan oleh masing-masing sekolah. (c) ditentukan prioritas masing-masing sekolah dalam membiayai kegiaannya, (d) memberdayakan bada pengelola pada masing-masing sekolah dalam menetapkan dana untuk guru dan staf, dan (e) memberikan informasi kepada orang tua mengenai prestasi guru.
Awal dari pelaksanaan model MBS di Inggris adalah dalam hal pengelolan pembiayaan pendidikan yang semula diatur ketat oleh pemerintah kemudian diserahkan pengelolaannya kepada masing-masing sekolah. Pengelolan anggaran dimulai dari penentuan kebutuhan oleh masing-masing sekolah hingga pada pengalokasian dananya berdasarkan prioritas.
Dari kemunculan Undang-Undang Pendidikan yang didahului dengan pelaksanaan MBS ini, terlihat jelas arahnya Bahwa UU itu dimaksudkan untuk melindungi inisiatif masyarakat dalam pengelolan pendidikan dan bukan untuk menggerakan masyarakat.  

5.    Model MBS di Australia
Di Australia lebih dari seratus tahun hingga wala 1970an, pengellaan pendidikan ditangani secara langsung oleh pemerintah pusat, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas (primary and secondary school) diadministrsikan oleh masing-masing negara bagian (state) di bawah pengelolaan sentralistik yang kuat oleh Departemen Pendidikan.
            Namun, sejak awal 1970an telah terjadi perubahan yang dramatis dalam pengelolaan pendidikan di negara Kangguru itu. Perubahan yang nyta adalah pemerintah federal mulai memiliki keterlibatan peran yang amat penting dalam pengelolaan pendidikan mulai Australian Commonwealh School Commision yang dibentuk tahun 1973. Oleh karena itu, peran Departemen Pendidikan pusat semakin kompleks yang akhirnya mendorongnya untuk melimpahkan pengambilan keputusan pada tingkat sekolah yang berkaitan dengan hal-hal terpenting dalam pengelolaan dana, misalnya yang terjadi di negara bagian Tasmania.
            Karakteristik dari MBS di Australia dapat dilihat dari aspek kewenangan sekolah yang meliputi, pertama, menyusun dan mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Kedua, melakukan pengelolaan sekolah yang dapat dipilih di antara tiga kemungkinan, yaitu Standard Flexibility Option (SO), Enhanced  Flexibility Option-1 (EO1), dan Enhanced  Flexibility Option-2 (EO2). Ketiga, membuat perencanaan, melaksanakan dan mempertanggungjawabkannya. Kempat, adanya akuntabilitas dalam pelaksanaan MBS. Kelima, menjamin dan mengusahakan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan. Keenam, adanya fleksibilitas dalam penggunaan sumber daya sekolah.  
6.    Model MBS di Prancis
Prancis adalah negara maju yang agak lambat dalam mereformasi pendidikan.  Negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia sudah memulainya sejak awal tahun 1970-an, namun prnacis baru melakukan desentralisasi pendidikan secra sunguh-sungguh mulai tahun 1980-an.
            Sistem pendidikan di Prancis di kanal sebgai sentralistis yang tradisional. Sekolah dasar diarahkan oleh inspektorat administrtif dan pedagogik. Kepala sekolah diambil dari guru dengan tanggung jawab fungsional khusus seperti mengkordinasi, mengorganisasi, dan berhubungan dengan orang-orang tua dan pihak keamanan. Kepala sekolah dibebaskan dari tugas mengajar berdasarkan besar kecilnya sekolah yang dipimpinnya. Disini terdapat hubungan keterkaitan antara inspektorat/pengawas daerah dengan para guru.
            Sebenarnya upaya desentralisasi pendidikan di Prancis sudah di mulai sejak tahun 1969 sebagai respon huru-hara pada tahun 1968. Namun, pada saat itu sekolah menengah atas (secondary school) masih dilihat sebgai sekolah tradisoinal sentralistis (Traditionally school centered) dimana pelaksanaan desentralisasi masih dibayang-bayangi oleh sentralisasi pendidikan.
            Kemajuan yang sangat berarti terjadi untuk hampir setiap sekolah pada tahun 1982-1984 di mana otoritas lokal memiliki tanggung jawab terhadapa dukungan finansial. Kekuasaan badan pengelola sekolah menengah atas diperluas kebeberapa area. Sementara itu, pengangkatan dan pemilihan guru masih dilakukan oleh pusat dengan ketat. Masing-masing sekolah menerima anggaran secara lumpsum terhadap jam mengajar guru. Kepala sekolah menentukan janis staf yang dibutuhkan untuk program-program khusus yang dilaksanankan sekolah.
            Upaya untuk mendesentralisasikan keputusan yang berkaitan dengan kurikulum dan pengajaran terjadi pada tahun 1984 pada saat diluncurkan rencana lima tahunan pada lingkup terbatas untuk tingkat pendidikan tinggi (college level), yaitu untuk siswa berusia 11-15 tahun.   

7.    Model MBS di Nikaragua
Masih dalam perdebatan akan dimulainya desentralisasi pemerintahan di Nikaragua. Namun, salah satu pertanda yang terjadi pada tahun 1982 adalah pemerintah Sandinista berusaha meningkatkan partisipasi dan pengelolaan berbagai pelayanan yang dipindahkan dari pemerintah pusat ke enam pemerintahan regional.
            Dalam bidang pendidikan sebuah uji coba terjadi di pemerintahan Chamorro di tahun 1993 untuk mentransformasikan pendelegasian wewenang ke dewan sekolah di dua puluh sekolah menengah. Selanjutnya, pada tahun 1994 sebanyak 33 sekolah menengah setuju untuk menjadi sekolah otonom. Pada akhir 1995 terdapat penambahan sebanyak 350 sekolah dasar dan menengah ikut berpartisipasi dalam reformasi pendidikan.
            Pada tahun 1995 dikeluarkan panduan dari kementrian (Ministry’s Direction General de Descentralization)  yang berisi kebijakan tentang bagaimana sekolah yang menyetujui desentralisasi harus berubah. Disitulah dikeluarkan norma-norma pengadministrasian sekolah otonom (Norms for Administering Autonomous Schools) atau dalam bahasa Spanyol disebut Normativa de Funcionnamiento de Centros Autonomos. 
            Model MBS Nikaragua difokuskan pada mendesentralisasikan pengelolaan sekolah dan anggaran sekolah yang keputusannya diserahkan kepada dewan sekolah (consenjos directivos). Teoari kebijakan berpendapat bahwa bila aktor ditingkat sekolah mencakup orang tua, guru, dan pimpinan sekolah memiliki kontrol dalam politik dan keuangan sekolah, sekolah akan memiliki akuntabilitas dan sumber daya sekolah akan dipergunakan secara rasional dalam rangka meningkatkan prestasi siswa.
            MBS sebagai bentuk desentralisasi pendidikan di Nikaragua menyangkut empat tahapan penting yaitu desentralisasi kebijakan, perubahan organisasi sekolah, kondisi lokal dan sejarah organisasi, serta hasil yang diharapkan.
            Dewan sekolah di Nikaragua juga memiliki otoritas legal yang luas mencakup kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan staf sekolah, mengangkat dan memberhentikan piminan sekolah, menyesuaikan insentif dan gaji guru, memantapkan dan menarik sumbangan pendidikan dari siswa, pemilihan buku pelajaran dan melakukan evaluasi terhadap para guru sekolah. Dalam teorinya dewan sekolah tersebut juga memiliki kewenangan untuk mengalokasikan dana untuk pengajaran, mengelola pendapatan sekolah, program pelatihan, dan dalam hal kurikulum yang di anggap sesuai.

8.    Model MBS di Selandia Baru
Di Selandia Baru, perhatian masyarakat luas untuk terlibat dalam pendidikan sudah tampak sejak tahun 1970-an dengan adanya konferensi Pengembangan Pendidikan (Education Development Conference) yang melibatkan 60.000 orang dalam 4.000 kelompok diskusi.
            Salahsatu hal yang mempermudah pelaksanaan implementasi MBS di Selandia Baru adalah keterbukaan pemerintah untuk menerima rekomendasi laporan picot (1998) bahwa perlu dilakukan transfer kekuasaan/kewenangan yang sesungguhnya dalam pengambilan keputusan dari jajaran birokrasi pemerintah ke tingkat sekolah. Hal itulah yang oleh Chapman disebut sebagai perubahan dramatis.
            Laporan Picotmenyimpulkan bahwa saaat itu struktur administrasi pendidikan di Selandia Baru terlalu sentralistis dan terlalu kompleks dengan adanya titik-titik pengambilan keputusan yang terlalu banyak. Ia meyakini bahwa sistem administrasi yang efektif harus sesederhana mungkin dan keputusan harus dibuat sedekat mungkin dengan tempat pelaksanaan pendidikan
            Tahun 1989 pemerintah Selandia Baru mengeluarkan Undang-Undang Pendidikan (Education act). Setelah itu pada tahun 1990 sistem pendidikan disana dijalankan secra desentralistik. Benar bahwa saat itulah sistem pendidikan mengalami reformasi besar-besaran. Bebagai bentuk perubahan dalam pengelolaan pendidikan di Selandia Baru didasarkan pada laporan Picot yang berjudul “ Administering for Excellence; Effective Administration in Education” yang memuat lima kritik terhadap sistem pendidikan di Selandia baru, yaitu pengambilan keputusan yang terlalu sentralistik, kompleksitas titik-titik pengambilan keputusan kurangnya informasi dan pilihan, kurangnya efektifitas praktik menajemen, dan perasaan ketidakberdayaan.”
            Sebagian sekolah menengah atas (secondary school) dikontrol dan dikelola oleh dewan gubernur yang keanggotaannya kebanyakan dari orang tua siswa dan anggota masyakat lainnya.
            Kerangka kerja kurikulum nasional masih akan berlaku, namun masing-masing sekolah mengembangkan pendidikan khusus kepada siswanya. Dukungan pendanaan pendidikan disekolah dijalankan dengan sistem quasi-free market di mana sekola akan membuat perencanaan dan keleluasaan pengelolaan dana sekolah.   

9.    Model MBS di El-Salvador
Dilatarbelakangi oleh keadaan pascaperang pada tahun 1991 menteri Pendidikan  El Salvador menciptkan model MBS baru untuk melayani siswa-siswa pendidikan prasekolah dan siswa sekolah dasar di daerah-daerah pedesaan dan daerah terpencil. Setelah penerapan MBS di daerah pedesaan dan terpencil ini dianggap berhasil maka pada tahun 1997 diterpakan pada sekolah sekolah tradisional di daerah perkotaan.
            Model MBS di El-Salvador disebut dengan Community Managed Schools Program yang kemudian dikenal dengan akronim bahasa Spanyol, EDUCO (Education con Participacion de la Comunided). Maksud dari model ini untuk mendesaentralisasikan pengelolaan sekolah negeri dengan cara meningkatkan keterlibatan orang tua di dalam tanggung jawab menjalankan sekolah.
            Program EDUCO memiliki tiga tujuan utama, yaitu meningkatkan penyediaan layanan pendidikan di dalam komonitas masyarakat termiskin, mendorong partisipasi anggota komonitas lokal di dalam pendidikan anak-anaknya, dan meningkatkan kualitas pendidikan prasekolah dan pendidikan dasar.
            Akhirnya dibentuklah ACE (Asiciation Comunal para la Education) atau dalam bahasa Inggrisnya disebut (Comunity Education Association). Anggotany dipilih dari orang tua siswa. ACE secara legal bertanggung jawab untuk menjalankan sekola-sekolah EDUCO termasuk masalah anggaran dana dan personilnya. ACE dapat mengangkat dan memberhentikan guru serta bertanggung jawab untuk mensupervisi kinerja dan kehadiran para guru.
            Model MBS tersebut menjadi program nasional untuk pendidikan di El Salvador. Sasaran utama pendidikan disana adalah mencapai sasaran pada tahun 2005 sedikitnya 90% anak-anak di El Salvador harus menyelesaikan pendidikan dasar, yaitu dari kelas satu hingga kelas sembilan.   

10. Model MBS di Madagaskar
Model MBs di Madagaskar difokuskan pada pelibatan masyarakat pada pengontrolan pendidikan dasar sejak tahub 1994. Dengan dukungan Bank Dunia maka Kementrian Pendidikan telah mengembangkan dan mempraktikan prinsip-prinsip, strategi dan prosedur yang mengarah pada tujuan MBS. Implementasi MBS di arahkan di dalam kerangka kerja dengan melibatkan masyarakat desa idak hanya untuk merehabilitasi, membangun dan memelihara sekolah-sekolah dasar, tetapi juga dilibatkan dalam pengelolaan dan supervisi sekolah dasar.
            Model MBS di Madagaskar tidak terlepas dari latar belakang sejarah yang kurang baik. Sejak awal tahun 1990-an, pendaftaran ke sekolah Madagaskar merosot sebagai akibat dari kurangnya investasi, memburuknya kualitas pendidikan, dan merosotnya moral para orang tua dan guru. Setelah adanya kajian dari sektor pendidikan dan adanya dukungan dai Bank Dunia maka dibentuklah sebuah tim pengambilan keputusan inovatif di tahun 1994, yaitu program rintisan yang dipusatkan pada pendekatan sekolah berbasis masyarakat.
            Program itu dimulai di dua lokasi distrik di suatu provinsi, jumlah provinsi disana sebanyak enam provinsi dengan total distrik sebanyak 111 buah. Kemudian, program itu diperluas ke 20 distrik. Kesuksesan implementasi pada tahap awal itu mendorong pemerintah untuk menerapkanny di seluruh sekolah pada seluruh tingkat pada tahun 1997 dan telah menjadi rencana nasional pengembangan pendidikan. Sejak tahun 1998, berbagai donor mengalir dan hingga tahun 2001 lalu program ini telah diterapkan lebih dari separuh distrik yang ada.
            Pera utama pemerintah adalah mengurangi ketidakadilan pendidikan, mendefinisikan standar dan mengembangkankerangka kerja kebijakan dan penelitian pendidikan. Dalam hal ini kebijakan sektoral untuk pendidikan  dasar ada tiga tugas pokok yaitu, (a) pentingnya meningkatkan akses semua siswa untuk masuk pendidikan dasar, (b) perlunya meningkatkan kualitas pembelajaran, pengajaran, dan pelatihan pada semua tingkatan, dan (c) perlunya memobilisasi partner dengan orang tua siswa dan masyarakat, ahli waris, dan sektor swasta. Sarana untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan program sekolah berbasis masyarakat. Maksudnya adalah melibatkan masyarakat di dalam tugas-tugas pendidikan. Tugas-tugas pendidikan tersebut di antaranya dengan memberi kemungkinan kepada semua siswa untuk memiliki keterampilan dasar membaca, menulis, berbicara, memahami, dan menghitung dalam rangka mengintegrasikan masyarakat dan mengembangkan kemampuan untuk melanjutkan pendidika.    

11. Model MBS di Indonesia
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memebrkan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas pada sekolah, dan mendorong partisipasi langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Otonomi dapat di artikan sebagai kewenangan atau kemandirian, yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri dan tidak tergantung. Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Sementara itu, pengambilan keputusan aspiratif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik dimana warga sekolah didorong terlibat secara langsung dalam proses oengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Di Indonesia model MBS difokuskan pada peningkatan mutu, tetapi tidak jelas dalam hal mutu apa. Mutu gurukah, mutu kurikulumkah, mutu hasil pengajarankah,mutu proses belajar mengajarkah, mutu penilainkah, atau mutu manajemennya?. Perspektif mutu ini terlalu luas untuk dicakup semua dalam model MBS di Indonesia.
Hal yang paling mendasar yang tidak diungkap dalam target mutu yang ingin dicapai dalam model MBS di Indonesia adalah mutu yag seperti apa? Apa kriterianya, bagaimana cara mencapainya, kapan harus dicapai, dan bagaimana peran sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan ini?
Model MBS di Indonesia tidak berasal dari inisiatif warga msayarakat, tetapi dari pemerintah. Hal ini bisa dimengerti karena setelah 32 tahun Indonesia berada dalam cengkraman pemerintahan otoriter yang membuat warganya takut untuk mengeluarkan pendapat dan inisiatif. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan pun berbeda dengan negara-negara lain yang peran serta masyarakatnya sudah tinggi. Di Indonesia, penerapan MBS diawali dengan dikeluarkannya UU No. 25 tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004. 

12. Model MBS yang Ideal
Model Lawler (1986) dengan keterlibatan tinggi dalam manajemen di sektor swasta menyangkut empat hal, yaitu kekuasaan, informasi, penghargaan, pengetahuan dan kekuasaan. Informasi memungkinkan individu berpartisipasi dan mempengaruhi pengambilan keputusan dengan memahani lingkungan organisasi, strategi, sistem kerja, persyaratan kinerja, da tingkat kinerja. Pengetahuan da keterampilan diperlukan untuk meningkatkan kinerja pekerjaan dan kontribusi aktif atas kesuksesan organisasi. Kekuasaan diperlukan untuk mempengaruhi proses kerja, praktik keorganisasian, kebijakan dan strategi. Penghargaan untuk menyatukan kepentingan pribai karyawan dengan keberhasilan organisasi.
            Kebanyakan orang berpendapat bahwa pendesentralisasian MBS hanya pada kekuasaan dan kurang memperhatikan tiga hal lainnya. Model MBS yang terinci menggambarkan pertukaran dua arah dalam hal pengetahuan, kekuasaan, informasi dan pengahargaan, alur dan arah memberikan pengaruh yang saling menguntungkan secara terus-menerus antara pemerintah daerah dengan sekolah dan sebaliknya.
            Model ideal yang dikembangkan oleh Slamet P.H. terdiri dari output, proses, dan input. Output sekolah diukur dengan kinerja sekolah , yaitu pencapaian atau prestasi yang dihasilkan oleh proses sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari efektifitas, kualitas, produktivitas, efisiensi, inovasi, kualitas kehidupan kerja, dan moral kerja.
            Proses adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Proses sekolah yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan progaram, dan proses belajar mengajar.
            Input adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sejumlah input sekolah adalah Visi, Misi, tujuan, sasaran, struktur organisasi, input manajemen, dan input sumber daya.    

Model MBS Ideal :




















BAB III
KESIMPULAN

Model MBS menempatkan sekolah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam menerapkan kebijakan, visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi yang berdampak terhadap kinerja sekolah. Kinerja sekolah sangat ditentukan oleh kebijakan yang ditetapkan oleh sekolah, menyangkut pengembangan kurikulum. Ada delapan model yang telah diklasifikasikan oleh  Yin Cheong Cheng dalam bukunya School Effectiveness&School-Based Manajement: A Mechanism For Development, yaitu Model Tujuan (Goal Model), Model Sumber Daya Masukkan ( Resource-input Model), Model proses ( Process Model ),  Model Kepuasan (The Satisfaction Model ),  Model Legitimasi (The Legitimacy Model), Model Ketidakefektifan (The Ineffectiveness Model), Model Pembelajaran organisasi ( Organizational Learning Model ) dan Model Manajemen Mutu Total ( The Total Quality Management Model ).
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Dengan adanya implementasi Manajemen Berbasis Sekolah diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan yang ada saat ini.
Sistem manajemen entah MBS atau apapun nama konsepnya dalam implementasinya secara luas dan mendasar yang amat diperlukan adalah dukungan politik baik itu sekedar political will maupun dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan formal. Pada dasarnya tidak ada satu strategi khusus yang jitu dan bisa menjamin keberhasilan implementasi MBS di semua tempat dan kondisi. Oleh karena itu, strategi yang diterapkan di suatu negara satu dengan negara lain bisa berbeda, bahkan antar sekolah dalam daerah yang sama pun bisa berlainan strateginya. Dan ke depan hendaknya para praktisi memberikan peran dan andil nyata sehingga diharapkan MBS akan terwujud bukan sekedar wacana saja
.
















DAFTAR PUSTAKA



 Mulyasa, Dr. E. M.Pd. 2011. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003

1 komentar: