BAB I
PENDAHULUAN
Manajemen Berbasis Sekolah atau School Based Management, School
Based Decision Making and Management oleh Hallinger dan Hausman (1992)
didefinisikan sebagai pemberian kewenangan kepada sekolah untuk bebas menata
organisasi sekolah, manajemen persekolahan, pengelolaan kelas, optimalisasi
kerjasama (kepala sekolah, orangtua dan guru) dan pemberian kesempatan yang
kreatif dan inovarif kepada sekolah. Istilah School based management atau Manajemen Berbasis Sekolah ini mulai diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun
1970. MBS lahir sebagai koreksi atas kinerja sekolah yang dalam hasil analisis
para pakar tidak mampu memberi respon kontekstual atas tuntutan dan kebutuhan
masyarakat.
Di Indonesia MBS mulai diperkenalkan tahun 1999 oleh
Departemen Pendidikan Nasional melalui Proyek perintisan Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), sehingga MBS
merupakan model otonomi pendidikan yang diterapkan di sekolah. Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) adalah salah satu strategi wajib yang Indonesia tetapkan
sebagai standar dalam mengembangkan keunggulan pengelolaan sekolah. Penegasan ini dituangkan dalam USPN Nomor 20
tahun 2003 pada pasal 51 ayat 1 bahwa pengelolaan satuan pendidikan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip
manajemen berbasis sekolah.
MBS
merupakan model aplikasi manajemen institusional yang mengintegrasikan
seluruh sumber internal dan eksternal dengan lebih menekankan pada
pentingnya menetapkan kebijakan melalui perluasan otonomi
sekolah. Sasarannya adalah mengarahkan perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi kebijakan dalam rangka mencapai tujuan. Spesifikasinya berkenaan
dengan visi, misi, dan tujuan yang dikemas dalam pengembangan kebijakan dan
perencanaan. (Wikipedia, 2009).
Dalam makalah ini, kami akan menjelaskan Implementasi
MBS, Model- Model MBS, serta beberapa Model MBS yang telah diimplementasikan di
negara- negara lain. Dimana pada sistem MBS, sekolah dituntut untuk bisa mandiri
dalam menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan
pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Jadi, diharapkan
MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang memberikan sebuah
penawaran kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan
memadai bagi para peserta didik.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) perlu
dilakukan karena sekolah perlu berkembang dari tahun ke tahun. Dimana peningkatan
mutu pendidikan di sekolah perlu didukung kemampuan manajerial kepala sekolah
dan hubungan baik antar guru perlu diciptakan agar terjalin iklim dan suasana
kerja yang kondusif dan menyenangkan. Demikian halnya penataan penampilan fisik
dan manajemen sekolah perlu dibina agar sekolah menjadi lingkungan yang dapat
menumbuhkan kreativitas, disiplin dan semangat belajar peserta didik.
Tujuan
Impelentasi MBS yaitu untuk meningkatkan
kualitas pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran,
kurikulum, sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kapendidikan lainnya,
dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum. Bagi sumber daya manusia,
peningkatan kualitas bukan hanya meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, melainkan
meningkatkan kesejahteraan pula. (
Cheng, 1996). Dengan adanya penerapan MBS ini telah terjadi perubahan
kebutuhan siswa sebagai bekal untuk terjun kedalam masyarakat luas di masa
mendatang di banding di masa lalu. Oleh karena itu pelayanan kepada siswa, program pengajaran dan
jasa yang diberikan kepada siswa juga harus sesuai dengan tuntutan baru
tersebut.
Dalam
rangka mengimplementasikan MBS
maka sekolah harus melibatkan semua unsur yang ada mulai dari kepala sekolah,
guru, masyarakat, sarana prasarana serta unsur terkait lainnya. Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan
efesien apabila didukung oleh sumber daya manusia yang profesional untuk
mengoperasikan sekolah, dana yang cukup besar agar sekolah mampu menggaji staf
sesuai dengan fungsinya, sarana prasarana yang memadai untuk proses belajar-
mengajar, serta dukungan masyarakat ( orang tua) yang tinggi.
Sebagai
paradigma pendidikan yang baru maka dalam implementasinya Manajemen Berbasis Sekolah melalui beberapa
tahapan. Menurut Fatah tahapan implementasi tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu
:
1.
Tahap Sosialisasi
Tahap
sosialisais merupakan tahapan yang penting mengingat luasnya daerah yang ada
terutama daerah yang sulit dijangkau serta kebiasaan masyarakat yang umumnya
tidak mudah menerima perubahan karena perubahan yang bersifat personal maupun
organisasional memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang baru. Dengan adanya
sosialisasi ini maka akan mengefektifkan pencapaian implementasi Manajemen
Berbasis Sekolah baik menyangkut aspek proses maupun pengembangannya di
sekolah.
2.
Tahap Piloting
Tahapan
piloting yaitu merupakan tahapan ujicoba agar penerapan konsep MBS tidak
mengandung resiko. Efektivitas model ujicoba memerlukan persyaratan dasar yaitu
akseptabilitas, akuntabilitas, reflikabilitas, dan sustainabilitas.
3.
Tahap Diseminasi
Tahapan
desiminasi merupakan tahapan memasyarakatkan model Manajemen Berbasis Sekolah
yang telah diujicobakan ke berbagai sekolah agar dapat mengimplementasikannya
secara efektif dan efisien.
Dengan
adanya implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di sekolah yang dipandang
memiliki tingkat efektivitas tinggi akan memberikan beberapa keuntungan yaitu :
1. Kebijaksanaan
dan kewengan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua,
dan guru.
2. Bertujuan
bagaimana memanfatkan budaya lokal.
3. Efektif
dalam melakukan pembinaan peeserta didik seperti kehadiran, hasil belajar,
tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, dan iklim sekolah.
4. Adanya perhatian bersama untuk mengambil
keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang sekolah dan
perubahan perencanaan (Fattah dalam E. Mulyasa, 2002:24-25).
Sedangkan keuntungan dari adanya
penerapan model MBS menurut Drs. Nur kholis, M.M,
dalam bukunya Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model, Dan Aplikas, adalah :
§ Secara
formal MBS dapat memahami keahlian dan kemampuan orang-orang yang bekerja di
sekolah.
§ Meningkatkan
moral, moral guru harus meningkatkan karena adanya komitmen dan tanggung
jawab dalam setiap pengambilan keputusan di sekolah.
§ Keputusan
yang diambil oleh sekolah memiliki akuntabilitas. Hal ini terjadi karena kostituen sekolah memiliki
andil yang cukup dalam setiap pengambilan keputusan.
§ Menyesuaikan
sumber daya keuangan terhadap tujuan instruksional yang dikembangkan di
sekolah. Keputusan yang di ambil pada tingkat sekolah yang akan lebih rasional
karena mereka tahu kekuatan sendiri, terutama kekuatan keunganan.
§ Menstimulasi
munculnya pemimpin baru di sekolah. Pengambilan keputusan ini tidak akan
berjalan dengan baik tanpa adanya peran seorang pemimpi.
§ Meningkatkan
kualitas, kuantitas, dan fleksibelitas komunikasi sekolah dalam rangka mencapai
kebutuhan sekolah. Kebersamaan dalam pemecahan masalah di sekolah telah
memperlancar alur komunikasi di antar warga sekolah.
Sekolah
memerlukan pedoman-pedoman sebagai pendukung untuk menjamin terlaksananya
pengelolaan MBS yang mengakomodasi kepentingan otonomi sekolah, kebijakan
pemerintah, dan partisipasi masyarakat. Implementasi MBS memerlukan seperangkat
peraturan dan pedoman-pedoman ( guadelines)
umum yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam perencanaan, monitoring, dan
evaluasi, serta laporan pelaksanaan. Rencana sekolah merupakan salah satu
perangkat terpenting dalam pengelolaan MBS. Rencana sekolah merupakan
perencanaan sekolah untuk jangka waktu tertentu, yang disusun oleh sekolah
sendiri bersama dewan sekolah.
Keberhasilan
Implementasi MBS sangat bergantung pada kemampuan dan kemauan politik
pemerintah ( political will) sebagai
penanggung jawab pendidikan. Kalau kemauan politik pemerintah sudah ada,
pelaksanaannya sangat bergantung pada bagaimana kesiapan pelaksana dan perumus
kebijakan dapat memperkecil kelemahan yang mungkin muncul dan mengeksplorasi
manfaat semaksimal mungkin.
Faktor pendukung kesuksesan
implementasi MBS : 1. Pemerintah (political will), 2. Dukungan financial dari
pemerintah dan masyarakat yang peduli pendidikan, 3. Ketersedian sumber daya
manusia yang mendukung implementasi MBS, 4. Budaya sekolah, 5. Kepemimpinan
yang efektif.
B. MODEL - MODEL
MBS
Model
MBS menempatkan sekolah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam
menerapkan kebijakan,
visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi yang berdampak terhadap kinerja
sekolah. Kinerja sekolah sangat ditentukan oleh kebijakan yang ditetapkan oleh
sekolah,
menyangkut pengembangan kurikulum. Berikut
model-model yang telah diklasifikasikan oleh
Yin Cheong Cheng dalam bukunya School Effectiveness&School-Based Manajement: A
Mechanism For Development :
1.
Model Tujuan (
Goal Model )
Goal Model sering digunakan dalam mengevaluasi
kinerja sekolah atau mempelajari efektivitas sekolah. Model ini mengasumsikan
bahwa harus ada
tujuan yang
dinyatakan dengan jelas dan
diterima secara umum
untuk mengukur
efektivitas sekolah,
dan efektifitas sekolah
akan
tercapai jika dapat
mencapai tujuan
yang dinyatakan pada input. Model ini
berguna jika
hasil belajar (outcomes) bagus dan
kriteria efektivitas
umum diterima
oleh semua konstituen
yang terlibat. Dalam hal ini indikator
efektivitas sekolah
tercantum dalam
rencana sekolah
dan rencana
program, khususnya
yang berkaitan dengan
kualitas lingkungan
belajar dan mengajar,
prestasi akademik
dalam ujian
umum, dll.
Ketika goal model digunakan untuk menilai
efektifitas sekolah, penting sekali untuk memasukkan seperangkat tujuan dan
sasaran. Tetapi mengingat sumber daya yang terbatas, akan
sulit bagi sekolah untuk mencapai beberapa tujuan dalam waktu singkat (cameron, 1978; Hall, 1987). Bagaimanapun juga,
akan sulit untuk
memaksimalkan efektifitas pada beberapa
tujuan dengan sumber daya terbatas.
2. Model
Sumber Daya Masukkan ( Resource-input Model)
Sekolah
perlu untuk mengejar beberapa tujuan,
tetapi karena adanya tekanan dan harapan yang berbeda dari beberapa konstituen sehingga tujuan tersebut menjadi tidak
konsisten. Sumber daya (Resources) menjadi
elemen penting dalam
fungsi sekolah.
Model sumber daya-masukan (The resource-input model) mengasumsikan bahwa semakin jarang dan bernilai
sumber daya input, maka akan semakin dibutuhkan oleh
sekolah untuk menjadi lebih efektif. Sebuah sekolah akan efektif jika dapat memperoleh sumber daya yang
dibutuhkan. Oleh karena itu, masukan dan kemahiran sumber daya menjadi kriteria
utama dari efektifitas (Etzioni, 1969; Yuchtman dan Seashore, 1967). Dalam hal ini, kualitas siswa, fasilitas, sumber daya, dan dukungan
keuangan dari otoritas pendidikan pusat, alumni, orang tua, sponsor
perseorangan atau agen luar merupakan indikator penting dari efektivitas.
Model ini berguna jika hubungan antara input dan output yang jelas (Cameron, 1984) dan sumber daya yang sangat terbatas
bagi sekolah untuk mencapai tujuan. Kemampuan
dalam memperoleh sumber daya merepresentasikan potensi sekolah itu menjadi
efektif, khususnya dalam konteks kompetisi sumber daya yang besar. Model ini memiliki kekurangan karena penekanan
yang berlebihan pada penerimaan masukan ( input ),
sehingga dapat mengurangi upaya sekolah dalam proses pendidikan dan outputnya.
Perolehan sumber daya dapat menjadi pemborosan jika mereka tidak dapat
digunakan secara efisien untuk melayani fungsi sekolah.
3.
Model
proses ( Process Model )
Dari perspektif sistem, input sekolah dapat dikonversi menjadi
kinerja sekolah dan output-nya melalui
sebuah proses
transformasi di sekolah. Pengalaman
dalam proses sekolah pada dunia
pendidikan sering diambil sebagai bentuk tujuan dan hasil belajar.
Oleh karena itu, model proses mengasumsikan bahwa sekolah akan efektif jika
fungsi internal ramah dan sehat. Oleh
karena itu, kegiatan internal atau praktek di sekolah dapat ditentukan sebagai
peraturan penting bagi efektivitas sekolah (Cheng, 1986b; 1993h; 1994d). Dalam hal ini, kepemimpinan,
saluran komunikasi, partisipasi, kemampuan beradaptasi, perencanaan,
pengambilan keputusan, interaksi sosial, iklim sekolah, metode pengajaran,
manajemen kelas dan strategi pembelajaran sering digunakan sebagai indikator
efektivitas.
Proses sekolah pada umumnya
mencakup proses manajemen, proses mengajar dan proses belajar. Jadi pemilihan
indikator mungkin didasarkan pada proses ini, diklasifikasikan sebagai
indikator keefektifan pengelolaan (misalnya, kepemimpinan, pengambilan
keputusan), indikator efektivitas mengajar (misalnya, mengajar kemanjuran,
metode mengajar) dan indikator efektifitas pembelajaran (misalnya, sikap
belajar , tingkat kehadiran).
Model ini sangat berguna jika
ada hubungan yang jelas antara proses sekolah dan hasil pendidikan.
Untuk batas tertentu, penekanan yang terletak pada kepemimpinan dan budaya
sekolah untuk efektivitas sekolah mencerminkan pentingnya model proses
(Caldwell dan Spink, 1992; Cheng, 1994d; Sergiovanni, 1984). Keterbatasan
model
proses adalah
kesulitan dalam proses pemantauan dan pengumpulan data serta
fokus pada sarana bukan tujuan akhir (Cameron, 1978).
4.
Model
Kepuasan ( The Satisfaction Model )
Efektivitas sekolah dapat
menjadi konsep yang relatif, tergantung pada harapan dari konstituen yang
bersangkutan atau beberapa pihak. Jika tujuan sekolah yang diharapkan tinggi
dan beragam, akan sulit bagi sekolah untuk mencapai dan memenuhi kebutuhannya.
Jika tujuan sekolah yang diharapkan
rendah dan sederhana, akan lebih mudah bagi sekolah untuk mencapainya dan
memenuhi harapan konstituen, sehingga
sekolah lebih mudah dianggap sudah efektif.
Selanjutnya, ukuran
pencapaian tujuan secara teknis biasanya sulit dan terkonsep secara
kontoversional. Oleh karena itu, kepuasan
konstituen yang kuat dan strategis sering digunakan sebagai elemen penting
untuk menilai efektivitas sekolah. Baru-baru ini, ada penekanan kuat pada
kualitas pendidikan sekolah. Pada
kenyataannya, konsep kualitas erat
kaitannya dengan kepuasan kebutuhan klien (atau pelanggan, konstituen) atau
kesesuaian persyaratan dan harapan klien' (Crosby,
1979; Tenner and Detoro, 1992). Dari
poin ini ditekankan bahwa untuk
meningkatkan mutu
pendidikan dapat dicapai dengan menggunakan
kepuasan konstituen
dalam menjelaskan
dan menilai keefektivitasan sekolah.
Model kepuasan
mendefinisikan bahwa sekolah akan efektif jika semua konstituen strategis puas.
Ini mengasumsikan bahwa fungsi dan kelangsungan hidup sekolah berada di bawah
pengaruh konstituen strategis, misalnya, kepala sekolah, guru, manajemen
sekolah, otoritas pendidikan, orang tua, siswa dan masyarakat, dan aktivitas/tindakan
sekolah mereaksian
akan tuntutan konstituen
strategis. Karenanya tuntutan kepuasan ini sebagai
syarat dasar untuk efektivitas sekolah (Keeley, 1984; Zammuto, 1982; 1984)
Model ini mungkin berguna
dalam mempelajari efektivitas sekolah jika harapan
semua konstituen yang kuat dapat disatukan dan
sekolah harus merespon harapan
tersebut. Indikator
efektivitas berupa kepuasan siswa, guru, orangtua, administrator, otoritas
pendidikan, komite manajemen sekolah, atau alumni, dll. Namun, model
tidak tepat jika adanya konflik pada tuntutan/harapan
konstituen dan tidak dapat dipenuhi pada saat yang sama.
5.
Model Legitimasi ( The Legitimacy Model )
Dampak perubahan dan perkembangan yang
cepat di masyarakat lokal maupun dalam konteks global menyebabkan lingkungan pendidikan di sekolah-sekolah menjadi lebih menantang dan kompetitif. Di satu sisi, sekolah harus serius untuk menyelesaikan sumber daya dan
mengatasi hambatan internal dan di sisi lain mereka harus menghadapi tantangan
eksternal dan tuntutan akuntabilitas dan 'nilai uang (value for money)' (Education
and Manpower Branch and Education Department, 1991; Education Commision, 1994). Hal ini menyebabkan (hampir) tidak mungkin bagi beberapa sekolah untuk bertahan atau melanjutkan tanpa
legitimasi dalam masyarakat atau publik.
Dalam rangka
mendapatkan sumber daya dan kelangsungan
hidup, sekolah harus menunjukkan bukti pertanggungjawaban (akuntabilitas), memenuhi
persyaratan masyarakat dan mendapatkan
dukungan dari konstituen yamg penting. Indikator efektivitas dalam
the legitimate model sering berhubungan dengan kegiatan dan keunggulan public relations dan pemasaran,
pertanggungjawaban (akuntabilitas), citra sekolah,
reputasi, atau status sekolah dalam masyarakat, dll.
Model ini berguna
ketika sekolah harus bertahan di antara sekolah harus dinilai dalam lingkungan
yang dinamis. Dari sudut pandang model ini, sekolah-sekolah akan
efektif jika mereka dapat melakukan kegiatan belajar mengajar dalam lingkungan
yang kompetitif/bersaing. Untuk tetap
bertahan, sekolah juga menerapan sistem akuntabilitas atau sistem jaminan mutu yang menyediakan
mekanisme formal bagi sekolah untuk mendapatkan legitimasi yang diperlukan. Hal
ini dapat menjelaskan mengapa begitu banyak sekolah sekarang lebih
memperhatikan hubungan masyarakat, kegiatan pemasaran dan membangun sistem
berbasis sekolah akuntabilitas atau sistem jaminan kualitas.
6.
Model
ketidakefektifan ( The Ineffectiveness Model ).
Kesulitan mengidentifikasi kriteria yang tepat seringkali menjadi masalah yang paling penting dalam penelitian efektifitas organisasi secara umum
dan dalam penelitian efektifitas sekolah pada khususnya (Cameron ;1984). Salah satu
kesulitan terpenting adalah bagaimana mengidentifikasi
indikator keberhasilan. Tampaknya jauh lebih mudah untuk mengidentifikasi
kelemahan dan kekurangan, seperti indikator
ketidakefektifan, daripada mengidentifikasi kekuatan
dari organisasi, seperti indikator efektivitas.
Telah dibuktikan bahwa 'perubahan dan pengembangan organisasi lebih
termotivasi oleh pengetahuan tentang masalah daripada pengetahuan tentang
keberhasilan' (Cameron, 1984: 246). Oleh karena itu, Cameron menyarankan bahwa
'suatu pendekatan untuk menilai ketidakefektifan organisasi sebagai pengganti
efektifitas yang dapat membantu memperluas
pemahaman kita tentang konstruksi efektivitas
organisasi' (p.247). Dari ide ini, model ketidakefektifan menggambarkan
efektivitas sekolah dari sisi negatif dan mendefinisikan bahwa pada dasarnya
sekolah akan efektif jika ada tidak ada karakteristik ketidakefektifan di
sekolah.
Model ini
mengasumsikan bahwa lebih mudah bagi konstituen sekolah yang bersangkutan untuk
mengidentifikasi dan menyepakati kriteria ketidakefektifan sekolah daripada
kriteria keefektifan sekolah. Juga
mengidentifikasi strategi
untuk meningkatkan
efektivitas sekolah
dapat lebih
tepat dilakukan
dengan menganalisis ketidakefektifan
sekolah daripada menganalisis keefektifan
sekolah. Oleh karena itu, model ini sangat berguna terutama bila kriteria
efektivitas sekolah benar-benar jelas namun diperlukan srategi untuk perbaikan
sekolah. Indikator ketidakefektifan dapat seperti
masalah, kesulitan, kekurangan, kelemahan dan kinerja yang buruk. Secara umum, banyak
sekolah, khususnya sekolah baru, lebih peduli kepada penyelesaian hambatan
sebagai dasar efektivitas sekolah daripada mengejar kinerja sekolah yang sangat
baik. Model ini mungkin cocok bagi mereka. Bagi praktisi seperti administrator
sekolah dan guru, model ketidakefektifan mungkin lebih mendasar dari
model-model lain. Tampaknya 'tidak ada ketidakefektifan' mungkin menjadi
kebutuhan dasar untuk efektivitas. Tetapi jika orang lebih tertarik pada
kinerja sekolah tinggi, model ini tidak mencukupi.
7.
Model Pembelajaran organisasi. ( Organizational Learning Model )
Model
pembelajaran organisasi mengasumsikan bahwa dampak dari perubahan lingkungan
dan adanya hambatan internal pada fungsi sekolah sangat tidak terelakkan,
karena itu, sekolah akan efektif jika dapat belajar bagaimana membuat perbaikan
dan beradaptasi terhadap lingkungannya. Dalam batas
tertentu, model ini mirip dengan model proses, perbedaannya adalah bahwa model ini menekankan pentingnya
belajar perilaku untuk kinerja sekolah yang efektif.
Penekanan
garis pemikiran model ini terletak pada stategi manajemen dan perencanaan pembangunan di
sekolah (Dempster, et al, 1993; Hargreaves and Hopkins, 1991). Model sangat
berguna ketika sekolah sedang mengembangkan diri atau terlibat dalam reformasi
pendidikan terutama di lingkungan eksternal yang berubah-ubah. Indikator
efektivitas sekolah dapat mencakup kesadaran dan perubahan kebutuhan
masyarakat, pemantauan proses internal, evaluasi program, analisis lingkungan,
dan perencanaan pembangunan, dll.
Di negara-negara atau wilayah
berkembang, ada banyak sekolah menengah baru karena perluasan pendidikan tingkat
menengah. Sekolah-sekolah baru harus menghadapi
banyak masalah dalam proses membangun struktur organisasi pendidikan,
berhadapan dengan siswa berkualitas buruk, pengembangan staf, dan melawan
pengaruh buruk dari masyarakat (Cheng, 1985). Begitu juga, perubahan
pada ekonomi dan lingkungan politik membutuhkan adaptasi yang efektif dari
sistem sekolah dalam hal perubahan kurikulum, manajemen perubahan dan perubahan
teknologi (Cheng, 1995b). Dalam latar belakang
seperti itu, model pembelajaran organisasi mungkin tepat untuk mempelajari
efektivitas sekolah. Manfaat
model ini akan terbatas jika hubungan
antara proses dan hasil pembelajaran organisasi sekolah tidak jelas. Namun proses pembelajaran organisasi bisa menjanjikan tampilan yang
dinamis untuk memaksimalkan efektivitas pada beberapa tujuan sekolah.
8. Model
Manajemen Mutu Total ( The Total
Quality Management Model ).
Konsep dan
praktek manajemen mutu total di sekolah diyakini menjadi alat yang ampuh untuk
meningkatkan kualitas pendidikan dan meningkatkan efektivitas sekolah (Bradly,1993;
Cuttance, 1994; Greenwood and Gaunt, 1994; Murgatroyd and Colin, 1993). Karena adanya perkembangan
teori dan praktek manajemen dalam organisasi yang berbeda,
orang mulai percaya bahwa perbaikan beberapa aspek dari proses manajemen tidak
cukup untuk mencapai kualitas. Untuk keberhasilan jangka panjang kuncinya terletak kualitas atau efektivitas kinerja, manajemen total dari lingkungan
internal dan proses untuk memenuhi kebutuhan pelanggan (atau klien, konstituen
strategis).
Elemen-elemen
penting dari manajemen kualitas total di sekolah adalah konstituen strategis (misalnya, orangtua, siswa, dll), perbaikan proses yang
berkesinambungan, serta pemberdayaan dan keterlibatan total anggota sekolah ( Tenner and Detoro, 1992). Menurut model manajemen total, sekolah efektif jika dapat
melibatkan dan memberdayakan semua anggota dalam fungsi sekolah, melakukan
perbaikan terus-menerus dalam berbagai aspek yang memenuhi persyaratan, kebutuhan serta harapan konstituen eksternal dan internal sekolah bahkan
dalam lingkungan yang berubah- ubah. Untuk
sebagian besar, model manajemen kualitas total efektivitas sekolah merupakan
integrasi dari model- model di
atas, khususnya model pembelajaran organisasi, model kepuasan dan model proses.
Bidang utama untuk menilai efektivitas sekolah dalam
Manajemen kualitas total
menurut
kerangka kerja Malcolm Baldrige Award atau European
Quality Award, dapat mencakup
kepemimpinan, manajemen manusia, manajemen proses, informasi dan analisis,
perencanaan kualitas strategi, internal kepuasan konstituen, eksternal kepuasan
konstituen, hasil operasional, hasil pendidikan siswa dan dampaknya terhadap
masyarakat (Fisher, 1994; George, 1992). Dibandingkan dengan model lain, model manajemen kualitas
total memberikan perspektif yang lebih holistik atau komprehensif untuk
memahami dan mengelola efektivitas sekolah.
Seperti dibahas di atas,
masing-masing dari delapan model memiliki itu kekuatan sendiri dan
keterbatasan. Dalam situasi yang berbeda dan bingkai waktu yang berbeda, model
yang berbeda mungkin berguna untuk mempelajari efektivitas sekolah. Secara relatif model pembelajaran organisasi dan model manajemen mutu total
tampaknya lebih menjanjikan untuk pencapaian fungsi beberapa sekolah pada
tingkat yang berbeda.
C. IMPLEMENTASI MODEL MBS DI BERBAGAI NEGARA
Semua model MBS yang muncul mengarah pada satu titik,
yaitu meningkatkan mutu sekolah dan pendidikan. Munculnya model MBS di
tiap-tiap negara tidak terlepas dari sejarah pendidikan negara tersebut.
Mulanya terdapat kelemahan pada bidang tertentu yang kemudian di fokuskan untuk
ditingkatkan kinerjanya. Beberapa negara cukup jeli dalam menganalisis
kelemahannya sehingga mampu membuat model MBS secara jelas dan fokus, namun di
beberapa negara model MBS kurang fokus dan melebar.
1. Model
MBS di Hongkong
Di
Hongkong MBS disebut The School Management Initiatif (SMI) atau sekolah
manajemen sekolah inisiatif. Latar belakang munculnya MBS di Hongkong adalah
karena kondisi pendidikan yang kurang baik sehingga perlu adanya perbaikan.
Struktur dan manajemen yang tidak memadai, peran dan tanggung jawab
masing-masing pihak kurang dijabarkan secara jelas, kurang memadainya alat
pengukuran prestasi, saat itu masih dipentingkan kontrol secara ketat namun
kurangnya kerangka kerja tanggung jawab dan akuntabilitas, dan lebih
mementingkan kontrol pembiayaan daripada efektivitas pembiayaan.
Prinsip-prinsip
MBS di Hongkong yang di usulkan adalah perlunya telaah ulang secara terus
menerus terhadap pembelanjaan anggaran pemerintah, perlunya evaluasi secara
sistematis terhadap hasil, hubungan yang erat antara tanggung jawab sumber daya
dan tanggung jawab manajemen, perlu adanya organisasi dan kerangka kerja yang
sesuai, hubungan yang jelas antara pembuat kebijakan dengan agen-agen
pelaksana.
2. Model
MBS di Kanada
Model
MBS di Kanada adalah School-site Decision
Making (SSDM) atau pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat sekolah.
Di mulai pada tahun 1970 dengan tujuh sekolah sebagai pecobaan . desentralisasi
yang diberikan kepada sekolah adalah alokasi sumber daya bagi staf pengajar dan
administrasi, peralatan dan pelayanan. Pada tahun 1980-1981di adopsi secara
besar-besaran ke berbagai sekolah dengan pendekatan manajemen mandiri.
Menurut
Sungkowo (2002), ciri-ciri MBS di Kanada sebagai berikut : penentuan alokasi
sumber daya ditentuakan sekolah, anggaran pendidikan diberikan secara lumpsum,
alokasi anggaran pendidikan tersebut di masukkan ke dalam anggaran sekolah,
adanya program efektivitas guru dan adanya program profesionalisme tenaga
kerja.
Penekanan
model MBS di kanada ini dalam hal pengambilan keputusan diserahkan kepada
masing-masing sekolah secara langsung. Akan tetapi terbatas pada beberapa hal
saja, yaitu yang menyangkut pengangkatan, promosi, penghargaan dan penghentian
tenaga guru dan administrasi, pengadaan perlatan sekolah, pelayanan kepada
pelangganan sekolah.
Sebelum
diterapkan MBS tiga bidang yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Pertama, pengadaan pegawai sekolah
semuanya diangkat dari pusat. Kedua,
pengadaan peralatan seperti buku, alat tulis dan baha praktik laboratorium
semuanya didrop dari pusat. Ketiga,
pelayanan pendidikan kepada pelanggan semuanya telah distandarkan dari pusat
mulai ditinggalkan.
3. Model
MBS di Amerika Serikat
Penerapan
MBS secara serius di Amerika Serikat terjadi pada saat adanya gelombang
reformasi pendidikan tahap kedua, yaitu pada tahun 1980an. Era itu merupakn
kelanjutan reformasi yang terjadi pada tahun 1970an pada saat sekolah-sekolah
di dsitrik menerapkan Side-Based
Management.
Sistem
pendidikan di Amerika Serikat, mula-mula secara konstitusional pemerintah pusat
(State) bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dan pemerintah daerah
(district) hanya sebagai unit pembuatan kebijakan dan administrasi. Pemerintah
federal memiliki peran terbatas bahkan semakin berkurang perannya. Terutama
pada area khusus, yaitu dukungan pendanaan.
Saat
itu muncul berbagai rekomendasi baik dari individu maupun organisasi yang
berpengaruh untuk mengadopsi MBS.
Dukungan datang dari Asosiasi Gubernur Nasional (National Governor’s Association), persatuan guru terbesar di
Amerika Serikat, yaitu The National Education Asssociation dan asosiasi kepala
sekolah menengah pertama (The National Association of secondary school
Principal). Mereka menyarankan bahwa sebagai syarat penting untuk
meningkatkan kualitas pendidikan maka otoritas pengambilan keputusan harus
berada pada tingkat sekolah melihat sejarah kemunculannya seperti tersebut itu
maka model MBS di Amerika Serikat disebut dengan Site-Based Management, sebgaiamana dikemukakan Reynolds (1997)
4. Model
MBS di Inggris
Kebijakan
pemerintahan Thatcher (1986) memberi bukti yang paling nyata dalam reformasi
pendidikan di Inggris saat itu si tangan besi tersebut mengemukakan bahwa
keseimbangan otonomi, kekuasaan dan akuntabilitas pendidikan sedang dilakukan
definisi ulang. Beberapa inisiatif reformasi pendidikan kemudain dimasukkan ke
dalam Undang-Undang Pendidikan (Education
Act) tahun 1988, antara lain berisi adanya kurikulum inti nasional, adanya
ujian nasional, serta pelaporan nasional.
Kontrol
terhadap anggaran sekolah diberikan kepada lembaga pengelola/pengawas beserta
para kepala sekolah menengah atas (secondary
school) dan sebgaian sekolah dasar (primary
school) dalam waktu lima tahun. Sementara itu, bantuan dana pendidikan dari
pemerintah pusat diberikan langsung kepada masing-masing sekolah. Itulah
kiranya mengapa model MBS di Inggris disebut Grant Maintained School (GMS) atau manajemen dana swakelola pada
tingkat lokal.
Dengan
adanya Undang-Undang pendidikan tersebut terjadi enam perubahan struktural guna
memfasilitasi pelaksanaan MBS sebagaimana dikemukakan oleh Sungkowo (2002).
Pertama, kurukulum nasional untuk mata pelajran inti ditentukan oleh Whitehell
(pemerintah). Kedua, ujian nasional (sejenis evaluasi belajar tahap akhir
nasional di indonesia) dilaksanakan atau diterapkan untuk siswa kelas 7, 11,
14, 16. Ketiga, MBS dibentuk untuk mengembangkan otoritas pendidikan lokal agar
dapat memperoleh dana bantuan dari pemerintah. Keempat, dibuatlah sekolah
lanjutan teknik. Kelima, kewenangan Inner London Education dilimpahkan kepada
tiga belas otoritas pendidikan. Keenam, skema manajeman sekolah lokal dibentuk
dengan melibatkan beberapa pihak terkait, sepeti (a) peran serta secara terbuka
pada masing-masing sekolah dalam otoritas pendidikan lokal, (b) alokasi sumber
daya dirumuskan oleh masing-masing sekolah. (c) ditentukan prioritas
masing-masing sekolah dalam membiayai kegiaannya, (d) memberdayakan bada
pengelola pada masing-masing sekolah dalam menetapkan dana untuk guru dan staf,
dan (e) memberikan informasi kepada orang tua mengenai prestasi guru.
Awal
dari pelaksanaan model MBS di Inggris adalah dalam hal pengelolan pembiayaan
pendidikan yang semula diatur ketat oleh pemerintah kemudian diserahkan
pengelolaannya kepada masing-masing sekolah. Pengelolan anggaran dimulai dari
penentuan kebutuhan oleh masing-masing sekolah hingga pada pengalokasian
dananya berdasarkan prioritas.
Dari
kemunculan Undang-Undang Pendidikan yang didahului dengan pelaksanaan MBS ini,
terlihat jelas arahnya Bahwa UU itu dimaksudkan untuk melindungi inisiatif
masyarakat dalam pengelolan pendidikan dan bukan untuk menggerakan masyarakat.
5. Model
MBS di Australia
Di
Australia lebih dari seratus tahun hingga wala 1970an, pengellaan pendidikan
ditangani secara langsung oleh pemerintah pusat, sekolah menengah pertama, dan
sekolah menengah atas (primary and
secondary school) diadministrsikan oleh masing-masing negara bagian (state) di bawah pengelolaan sentralistik
yang kuat oleh Departemen Pendidikan.
Namun, sejak awal 1970an telah
terjadi perubahan yang dramatis dalam pengelolaan pendidikan di negara Kangguru
itu. Perubahan yang nyta adalah pemerintah federal mulai memiliki keterlibatan
peran yang amat penting dalam pengelolaan pendidikan mulai Australian Commonwealh School Commision yang dibentuk tahun 1973.
Oleh karena itu, peran Departemen Pendidikan pusat semakin kompleks yang akhirnya
mendorongnya untuk melimpahkan pengambilan keputusan pada tingkat sekolah yang
berkaitan dengan hal-hal terpenting dalam pengelolaan dana, misalnya yang
terjadi di negara bagian Tasmania.
Karakteristik dari MBS di Australia
dapat dilihat dari aspek kewenangan sekolah yang meliputi, pertama, menyusun
dan mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil
belajar siswa. Kedua, melakukan pengelolaan sekolah yang dapat dipilih di
antara tiga kemungkinan, yaitu Standard
Flexibility Option (SO), Enhanced Flexibility Option-1 (EO1), dan Enhanced Flexibility Option-2 (EO2). Ketiga,
membuat perencanaan, melaksanakan dan mempertanggungjawabkannya. Kempat, adanya
akuntabilitas dalam pelaksanaan MBS. Kelima, menjamin dan mengusahakan sumber
daya manusia dan sumber daya keuangan. Keenam, adanya fleksibilitas dalam
penggunaan sumber daya sekolah.
6. Model
MBS di Prancis
Prancis
adalah negara maju yang agak lambat dalam mereformasi pendidikan. Negara-negara lain seperti Amerika Serikat,
Kanada, dan Australia sudah memulainya sejak awal tahun 1970-an, namun prnacis
baru melakukan desentralisasi pendidikan secra sunguh-sungguh mulai tahun
1980-an.
Sistem pendidikan di Prancis di
kanal sebgai sentralistis yang tradisional. Sekolah dasar diarahkan oleh
inspektorat administrtif dan pedagogik. Kepala sekolah diambil dari guru dengan
tanggung jawab fungsional khusus seperti mengkordinasi, mengorganisasi, dan
berhubungan dengan orang-orang tua dan pihak keamanan. Kepala sekolah
dibebaskan dari tugas mengajar berdasarkan besar kecilnya sekolah yang
dipimpinnya. Disini terdapat hubungan keterkaitan antara inspektorat/pengawas
daerah dengan para guru.
Sebenarnya upaya desentralisasi
pendidikan di Prancis sudah di mulai sejak tahun 1969 sebagai respon huru-hara
pada tahun 1968. Namun, pada saat itu sekolah menengah atas (secondary school)
masih dilihat sebgai sekolah tradisoinal sentralistis (Traditionally school
centered) dimana pelaksanaan desentralisasi masih dibayang-bayangi oleh
sentralisasi pendidikan.
Kemajuan yang sangat berarti terjadi
untuk hampir setiap sekolah pada tahun 1982-1984 di mana otoritas lokal
memiliki tanggung jawab terhadapa dukungan finansial. Kekuasaan badan pengelola
sekolah menengah atas diperluas kebeberapa area. Sementara itu, pengangkatan
dan pemilihan guru masih dilakukan oleh pusat dengan ketat. Masing-masing
sekolah menerima anggaran secara lumpsum terhadap jam mengajar guru. Kepala
sekolah menentukan janis staf yang dibutuhkan untuk program-program khusus yang
dilaksanankan sekolah.
Upaya untuk mendesentralisasikan
keputusan yang berkaitan dengan kurikulum dan pengajaran terjadi pada tahun
1984 pada saat diluncurkan rencana lima tahunan pada lingkup terbatas untuk
tingkat pendidikan tinggi (college level),
yaitu untuk siswa berusia 11-15 tahun.
7. Model
MBS di Nikaragua
Masih
dalam perdebatan akan
dimulainya desentralisasi pemerintahan di Nikaragua. Namun, salah satu pertanda yang terjadi pada tahun 1982
adalah pemerintah Sandinista berusaha meningkatkan partisipasi dan pengelolaan
berbagai pelayanan yang dipindahkan dari pemerintah pusat ke enam pemerintahan
regional.
Dalam bidang pendidikan sebuah uji
coba terjadi di pemerintahan Chamorro di tahun 1993 untuk mentransformasikan
pendelegasian wewenang ke dewan sekolah di dua puluh sekolah menengah.
Selanjutnya, pada tahun 1994 sebanyak 33 sekolah menengah setuju untuk menjadi
sekolah otonom. Pada akhir 1995 terdapat penambahan sebanyak 350 sekolah dasar
dan menengah ikut berpartisipasi dalam reformasi pendidikan.
Pada tahun 1995 dikeluarkan panduan
dari kementrian (Ministry’s Direction
General de Descentralization) yang
berisi kebijakan tentang bagaimana sekolah yang menyetujui desentralisasi harus
berubah. Disitulah dikeluarkan norma-norma pengadministrasian sekolah otonom
(Norms for Administering Autonomous Schools) atau dalam bahasa Spanyol disebut Normativa de Funcionnamiento de Centros
Autonomos.
Model MBS Nikaragua difokuskan pada
mendesentralisasikan pengelolaan sekolah dan anggaran sekolah yang keputusannya
diserahkan kepada dewan sekolah (consenjos
directivos). Teoari kebijakan berpendapat bahwa bila aktor ditingkat
sekolah mencakup orang tua, guru, dan pimpinan sekolah memiliki kontrol dalam
politik dan keuangan sekolah, sekolah akan memiliki akuntabilitas dan sumber
daya sekolah akan dipergunakan secara rasional dalam rangka meningkatkan
prestasi siswa.
MBS sebagai bentuk desentralisasi
pendidikan di Nikaragua menyangkut empat tahapan penting yaitu desentralisasi
kebijakan, perubahan organisasi sekolah, kondisi lokal dan sejarah organisasi,
serta hasil yang diharapkan.
Dewan sekolah di Nikaragua juga
memiliki otoritas legal yang luas mencakup kekuasaan untuk mengangkat dan
memberhentikan staf sekolah, mengangkat dan memberhentikan piminan sekolah,
menyesuaikan insentif dan gaji guru, memantapkan dan menarik sumbangan
pendidikan dari siswa, pemilihan buku pelajaran dan melakukan evaluasi terhadap
para guru sekolah. Dalam teorinya dewan sekolah tersebut juga memiliki
kewenangan untuk mengalokasikan dana untuk pengajaran, mengelola pendapatan
sekolah, program pelatihan, dan dalam hal kurikulum yang di anggap sesuai.
8. Model
MBS di Selandia Baru
Di
Selandia Baru, perhatian masyarakat luas untuk terlibat dalam pendidikan sudah
tampak sejak tahun 1970-an dengan adanya konferensi Pengembangan Pendidikan
(Education Development Conference) yang melibatkan 60.000 orang dalam 4.000
kelompok diskusi.
Salahsatu hal yang mempermudah
pelaksanaan implementasi MBS di Selandia Baru adalah keterbukaan pemerintah
untuk menerima rekomendasi laporan picot (1998) bahwa perlu dilakukan transfer
kekuasaan/kewenangan yang sesungguhnya dalam pengambilan keputusan dari jajaran
birokrasi pemerintah ke tingkat sekolah. Hal itulah yang oleh Chapman disebut
sebagai perubahan dramatis.
Laporan Picotmenyimpulkan bahwa
saaat itu struktur administrasi pendidikan di Selandia Baru terlalu
sentralistis dan terlalu kompleks dengan adanya titik-titik pengambilan
keputusan yang terlalu banyak. Ia meyakini bahwa sistem administrasi yang
efektif harus sesederhana mungkin dan keputusan harus dibuat sedekat mungkin
dengan tempat pelaksanaan pendidikan
Tahun 1989 pemerintah Selandia Baru
mengeluarkan Undang-Undang Pendidikan (Education act). Setelah itu pada tahun
1990 sistem pendidikan disana dijalankan secra desentralistik. Benar bahwa saat
itulah sistem pendidikan mengalami reformasi besar-besaran. Bebagai bentuk
perubahan dalam pengelolaan pendidikan di Selandia Baru didasarkan pada laporan
Picot yang berjudul “ Administering for
Excellence; Effective Administration in Education” yang memuat lima kritik
terhadap sistem pendidikan di Selandia baru, yaitu pengambilan keputusan yang
terlalu sentralistik, kompleksitas titik-titik pengambilan keputusan kurangnya
informasi dan pilihan, kurangnya efektifitas praktik menajemen, dan perasaan
ketidakberdayaan.”
Sebagian sekolah menengah atas
(secondary school) dikontrol dan dikelola oleh dewan gubernur yang
keanggotaannya kebanyakan dari orang tua siswa dan anggota masyakat lainnya.
Kerangka kerja kurikulum nasional
masih akan berlaku, namun masing-masing sekolah mengembangkan pendidikan khusus
kepada siswanya. Dukungan pendanaan pendidikan disekolah dijalankan dengan
sistem quasi-free market di mana sekola akan membuat perencanaan dan
keleluasaan pengelolaan dana sekolah.
9. Model
MBS di El-Salvador
Dilatarbelakangi
oleh keadaan pascaperang pada tahun 1991 menteri Pendidikan El Salvador menciptkan model MBS baru untuk
melayani siswa-siswa pendidikan prasekolah dan siswa sekolah dasar di
daerah-daerah pedesaan dan daerah terpencil. Setelah penerapan MBS di daerah
pedesaan dan terpencil ini dianggap berhasil maka pada tahun 1997 diterpakan
pada sekolah sekolah tradisional di daerah perkotaan.
Model MBS di El-Salvador disebut
dengan Community Managed Schools Program yang kemudian dikenal dengan akronim
bahasa Spanyol, EDUCO (Education con Participacion de la Comunided). Maksud
dari model ini untuk mendesaentralisasikan pengelolaan sekolah negeri dengan
cara meningkatkan keterlibatan orang tua di dalam tanggung jawab menjalankan
sekolah.
Program EDUCO memiliki tiga tujuan
utama, yaitu meningkatkan penyediaan layanan pendidikan di dalam komonitas
masyarakat termiskin, mendorong partisipasi anggota komonitas lokal di dalam
pendidikan anak-anaknya, dan meningkatkan kualitas pendidikan prasekolah dan
pendidikan dasar.
Akhirnya dibentuklah ACE (Asiciation Comunal para la Education)
atau dalam bahasa Inggrisnya disebut (Comunity
Education Association). Anggotany dipilih dari orang tua siswa. ACE secara
legal bertanggung jawab untuk menjalankan sekola-sekolah EDUCO termasuk masalah
anggaran dana dan personilnya. ACE dapat mengangkat dan memberhentikan guru
serta bertanggung jawab untuk mensupervisi kinerja dan kehadiran para guru.
Model MBS tersebut menjadi program
nasional untuk pendidikan di El Salvador. Sasaran utama pendidikan disana
adalah mencapai sasaran pada tahun 2005 sedikitnya 90% anak-anak di El Salvador
harus menyelesaikan pendidikan dasar, yaitu dari kelas satu hingga kelas
sembilan.
10. Model
MBS di Madagaskar
Model
MBs di Madagaskar difokuskan pada pelibatan masyarakat pada pengontrolan
pendidikan dasar sejak tahub 1994. Dengan dukungan Bank Dunia maka Kementrian
Pendidikan telah mengembangkan dan mempraktikan prinsip-prinsip, strategi dan
prosedur yang mengarah pada tujuan MBS. Implementasi MBS di arahkan di dalam
kerangka kerja dengan melibatkan masyarakat desa idak hanya untuk
merehabilitasi, membangun dan memelihara sekolah-sekolah dasar, tetapi juga
dilibatkan dalam pengelolaan dan supervisi sekolah dasar.
Model MBS di Madagaskar tidak
terlepas dari latar belakang sejarah yang kurang baik. Sejak awal tahun
1990-an, pendaftaran ke sekolah Madagaskar merosot sebagai akibat dari
kurangnya investasi, memburuknya kualitas pendidikan, dan merosotnya moral para
orang tua dan guru. Setelah adanya kajian dari sektor pendidikan dan adanya
dukungan dai Bank Dunia maka dibentuklah sebuah tim pengambilan keputusan
inovatif di tahun 1994, yaitu program rintisan yang dipusatkan pada pendekatan
sekolah berbasis masyarakat.
Program itu dimulai di dua lokasi
distrik di suatu provinsi, jumlah provinsi disana sebanyak enam provinsi dengan
total distrik sebanyak 111 buah. Kemudian, program itu diperluas ke 20 distrik.
Kesuksesan implementasi pada tahap awal itu mendorong pemerintah untuk
menerapkanny di seluruh sekolah pada seluruh tingkat pada tahun 1997 dan telah
menjadi rencana nasional pengembangan pendidikan. Sejak tahun 1998, berbagai
donor mengalir dan hingga tahun 2001 lalu program ini telah diterapkan lebih
dari separuh distrik yang ada.
Pera utama pemerintah adalah
mengurangi ketidakadilan pendidikan, mendefinisikan standar dan
mengembangkankerangka kerja kebijakan dan penelitian pendidikan. Dalam hal ini
kebijakan sektoral untuk pendidikan
dasar ada tiga tugas pokok yaitu, (a) pentingnya meningkatkan akses
semua siswa untuk masuk pendidikan dasar, (b) perlunya meningkatkan kualitas
pembelajaran, pengajaran, dan pelatihan pada semua tingkatan, dan (c) perlunya
memobilisasi partner dengan orang tua siswa dan masyarakat, ahli waris, dan
sektor swasta. Sarana untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan program
sekolah berbasis masyarakat. Maksudnya adalah melibatkan masyarakat di dalam
tugas-tugas pendidikan. Tugas-tugas pendidikan tersebut di antaranya dengan
memberi kemungkinan kepada semua siswa untuk memiliki keterampilan dasar
membaca, menulis, berbicara, memahami, dan menghitung dalam rangka
mengintegrasikan masyarakat dan mengembangkan kemampuan untuk melanjutkan
pendidika.
11. Model
MBS di Indonesia
Model
MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memebrkan otonomi lebih
besar kepada sekolah, fleksibilitas pada sekolah, dan mendorong partisipasi
langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Otonomi
dapat di artikan sebagai kewenangan atau kemandirian, yaitu kemandirian dalam
mengatur dan mengurus dirinya sendiri dan tidak tergantung. Otonomi sekolah
adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Sementara
itu, pengambilan keputusan aspiratif adalah suatu cara untuk mengambil
keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik dimana
warga sekolah didorong terlibat secara langsung dalam proses oengambilan
keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Di
Indonesia model MBS difokuskan pada peningkatan mutu, tetapi tidak jelas dalam
hal mutu apa. Mutu gurukah, mutu kurikulumkah, mutu hasil pengajarankah,mutu
proses belajar mengajarkah, mutu penilainkah, atau mutu manajemennya?. Perspektif mutu ini terlalu luas untuk
dicakup semua dalam model MBS di Indonesia.
Hal
yang paling mendasar yang tidak diungkap dalam target mutu yang ingin dicapai
dalam model MBS di Indonesia adalah mutu yag seperti apa? Apa kriterianya,
bagaimana cara mencapainya, kapan harus dicapai, dan bagaimana peran sekolah
dalam peningkatan mutu pendidikan ini?
Model
MBS di Indonesia tidak berasal dari inisiatif warga msayarakat, tetapi dari
pemerintah. Hal ini bisa dimengerti karena setelah 32 tahun Indonesia berada
dalam cengkraman pemerintahan otoriter yang membuat warganya takut untuk
mengeluarkan pendapat dan inisiatif. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan
pun berbeda dengan negara-negara lain yang peran serta masyarakatnya sudah
tinggi. Di Indonesia, penerapan MBS diawali dengan dikeluarkannya UU No. 25
tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004.
12. Model
MBS yang Ideal
Model
Lawler (1986) dengan keterlibatan tinggi dalam manajemen di sektor swasta
menyangkut empat hal, yaitu kekuasaan, informasi, penghargaan, pengetahuan dan
kekuasaan. Informasi memungkinkan individu berpartisipasi dan mempengaruhi
pengambilan keputusan dengan memahani lingkungan organisasi, strategi, sistem
kerja, persyaratan kinerja, da tingkat kinerja. Pengetahuan da keterampilan
diperlukan untuk meningkatkan kinerja pekerjaan dan kontribusi aktif atas
kesuksesan organisasi. Kekuasaan diperlukan untuk mempengaruhi proses kerja,
praktik keorganisasian, kebijakan dan strategi. Penghargaan untuk menyatukan
kepentingan pribai karyawan dengan keberhasilan organisasi.
Kebanyakan orang berpendapat bahwa
pendesentralisasian MBS hanya pada kekuasaan dan kurang memperhatikan tiga hal
lainnya. Model MBS yang terinci menggambarkan pertukaran dua arah dalam hal
pengetahuan, kekuasaan, informasi dan pengahargaan, alur dan arah memberikan
pengaruh yang saling menguntungkan secara terus-menerus antara pemerintah
daerah dengan sekolah dan sebaliknya.
Model ideal yang dikembangkan oleh
Slamet P.H. terdiri dari output, proses, dan input. Output sekolah diukur
dengan kinerja sekolah , yaitu pencapaian atau prestasi yang dihasilkan oleh
proses sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari efektifitas, kualitas,
produktivitas, efisiensi, inovasi, kualitas kehidupan kerja, dan moral kerja.
Proses adalah berubahnya sesuatu
menjadi sesuatu yang lain. Proses sekolah yang dimaksud adalah proses
pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan
progaram, dan proses belajar mengajar.
Input adalah segala sesuatu yang
harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sejumlah input
sekolah adalah Visi, Misi, tujuan, sasaran, struktur organisasi, input
manajemen, dan input sumber daya.
Model MBS Ideal :
BAB III
KESIMPULAN
Model
MBS menempatkan sekolah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam
menerapkan kebijakan,
visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi yang berdampak terhadap kinerja
sekolah. Kinerja sekolah sangat ditentukan oleh kebijakan yang ditetapkan oleh
sekolah,
menyangkut pengembangan kurikulum. Ada
delapan model yang telah diklasifikasikan oleh
Yin Cheong Cheng dalam bukunya School Effectiveness&School-Based Manajement: A
Mechanism For Development, yaitu Model Tujuan (Goal
Model), Model Sumber
Daya Masukkan ( Resource-input Model), Model
proses ( Process Model ), Model
Kepuasan (The Satisfaction Model ), Model Legitimasi (The Legitimacy Model), Model
Ketidakefektifan (The Ineffectiveness Model), Model Pembelajaran organisasi ( Organizational Learning Model ) dan Model
Manajemen Mutu Total ( The Total
Quality Management Model ).
Manajemen
Berbasis Sekolah merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah
untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi,
dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat
setempat serta menjalin kerja sama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan
pemerintah. Dengan adanya implementasi Manajemen Berbasis Sekolah diharapkan
dapat meningkatkan mutu pendidikan yang ada saat ini.
Sistem
manajemen entah MBS atau apapun nama konsepnya dalam implementasinya secara
luas dan mendasar yang amat diperlukan adalah dukungan politik baik itu sekedar
political will maupun dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan formal.
Pada dasarnya tidak ada satu strategi khusus yang jitu dan bisa menjamin
keberhasilan implementasi MBS di semua tempat dan kondisi. Oleh karena itu,
strategi yang diterapkan di suatu negara satu dengan negara lain bisa berbeda,
bahkan antar sekolah dalam daerah yang sama pun bisa berlainan strateginya. Dan
ke depan hendaknya para praktisi memberikan peran dan andil nyata sehingga
diharapkan MBS akan terwujud bukan sekedar wacana saja
.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003
makasih bang. klop banget ama tugas kuliah!
BalasHapus