Rabu, 22 Februari 2012

kepuasan kerja


BAB I
PENDAHULUAN
Banyak orang mempunyai pandangan yang salah tentang kepuasan kerja. Mereka berpikir bahwa terpenuhinya kepuasan kerja seseorang memang pengaruh dari sifat lahiriahnya. Banyak para pemimpin atau manajer sebuah organisasi berpikir bahwa karyawan atau bawahan yang malas adalah sebuah harga mati yang tak dapat dirubah.
Dengan berjalannya waktu, kita menyadari bahwa ternyata terpenuhinya kepuasan kerja karyawan atau bawahan itu dapat dipelajari serta dapat ditingkatkan. Kepuasan kerja dipengaruhi oleh interaksi seseorang terhadap sesamanya serta  situasi tempat dia bekerja. Kepuasan Kerja seorang karyawan sangatlah membantu sebuah organisasi untuk memcapai visi dan misinya secara efisien dan efektif. Maka dari itu dalam makalah ini kami selaku kelompok pertama akan memaparkan ruang lingkup Kepuasan Kerja. Diharapkan dapat memberikan pengertian lebih jelas tentang Kepuasan kerja.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Kepuasan Kerja
            Menurut Werther dan Davis “Job satisfactions is the favorableness or unfavorableness with which employes view their work” kepuasan kerja adalah keadaan yang meyenangkan atau tidak meyenangkan, di mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Schermerhorn memberikan pengertian “Job satisfactions is the degree to which an individual feels positively or negatively about his job”[1] kepuasan kerja adalah tingkat di mana individu merasakan positif atau negatif tentang suatu pekerjaan.
Sesuai dengan pendapat Stepen P. Robbin dan Mary Coulter “Job satisfactions is a person with a high level of job satisfaction has a positive attitude toward his her job, while a person who is dissatisfaction has negative attitude”[2] kepuasan kerja adalah seseorang yang mempunyai kepuasan yang tinggi akan melakukan tindakan positif terhadap pekerjaaanya, sebaliknya orang yang tidak puas akan menunjukkan tindakan negatif.
Menyatakan bahwa kepuasan kerja dapat diduga dari sikap seseorang terhadap pekerjaanya. Ini beraarti sikap karyawaan yang menyukai pekerjaanya berarti puas terhadap pekerjaaanya, begitu pula sebaliknya orang yang tidak puas tidak akan menyukai pekerjaaanya. Konsekuensinya adalah orang yang puas akan bersikap posutif, misalnya rajin bekerja, sungguh-sungguh, dan mempunyai semagat kerja, sementara orang yang tidak puas akan berprilaku negatif, misalnya jarang masuk kerja, melalaikan tugas, dan malas.
Gibson, Ivancevich dan Donnely  mengatakan “ Job satisfaction an individual’s expression of personal well-being associated with doing the job assigned"[3] kepuasan kerja adalah ungkapan perasaan seseorang tentang kesejahteraan untuk melakukan pekerjaan, bahwa kepuasan kerja adalah sikap seseorang terhadap pekerjaanya mereka. Sikap itu berasal dari persepsi mereka tentang pekerjaan, persepsi adalah proses kognitif (pemberian arti) yang digunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami cara pandang individu dalam “melihat” hal yang sama dengan cara yang berbeda-beda.
Menurut Luthan,’s “Job satisfactions  is a pleasurable or positive emotional state resulting from the apraisal of one”[4] Kepuasan kerja adalah suatu keadaan emosi yang meyenangkan atau positif sebagai akibat dari pengalaman atau penilaian seseorang.



Menurut Robert Kreitner dan Angelo Kinicki Terdapat lima hal yang berkaitan kepuasan kerja seseorang yaitu[5]:
  1. Pekerjaan itu sendiri
Maksudnya kepuasan pekerja itu sendiri merupakan sumber utama kepuasan
  1. Gaji
Maksudnya upah dan benefit tidak hanya membantu orang memperoleh kebutuhan dasar, tetapi juga alat untuk memberikan kebutuhan kepuasaan pada tingkat yang lebih tinggih
  1. Peluang – peluang promosi
Maksudnya kesempatan promosi sepertinya memiliki pengaruh yang berbeda pada kepuasan, hal ini dikarenakan promosi memiliki sejumlah bentuk yang berbeda dan memiliki berbagai penghargaan contoh: promosi dengan kenaikan gaji 10% pada dasarnya tidak memuaskan dengan kenaikan gaji 20%.
  1. Supervisi
Maksudnya mengawasi seberapa baik kerja karyawan, memberi nasehat dan bantuan kepada individu dan berkomunikasi dengan rekan kerja secara personal maupun dalam konteks pekerjaan
  1. Rekan kerja
Maksudnya rekan kerja yang saling ketergantungan antar anggota dalam meyelesaikan pekerjaan akan memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggih, rekan kerja yang baik atau tim yang efektif membuat pekerjaan menjadi meyenangkan akan tetapi jika kondisi sebaliknya terjadi orang akan sulit untuk bekerja sama dan akan memberikan efek negatif pada kepuasan kerja[6]
B.  Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
  1. Faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja akan dapat diketahui dengan melihat   beberapa hal yang dapat menimbulkan dan mendorong kepuasan kerja  yaitu[7]:
ü  Faktor Psikologik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja, bakat dan keterampilan.
ü  Faktor Sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik sesama karyawan dengan atasan maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya.
ü  Faktor Fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur dan sebagainya.
ü  Faktor Finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistim dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan sebagainya.
2. Menurut Robbins Faktor-faktor yang menentukan kepuasan kerja yaitu:
ü  Pekerjaan yang secara mental menantang
Artinya orang lebih menyukai pekerjaan yang memberikan peluang kepada mereka untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan mereka keragaman tugas, kebebasan, dan umpan balik tentang bagaimana kinerja mereka.
ü  Imbalan yang setimpal
Artinya karyawan mengiginkan sistem pembayaran dan kebijakan promosi yang mereka anggap adil dan sesuai dengan harapan mereka, misalkan memberikan peluang promosi secara terbuka dan adil
ü  Kondisi kerja yang mendukung
Artinya karyawan peduli dengan lingkungan kerja mereka untuk  keyamanan pribadi sekaligus untuk menfasilitasi kinerja yang baik, misalnya tempat kerja relatif dekat dengan tempat tinggal, berada dalam fasilitas yang bersih dan relatif modern, dan dengan perlengkapan dan peralatan yang memadai.
ü  Mitra kerja yang mendukung
Artinya orang sering mengundurkan diri dari suatu pekerjaan lebih sekedar masalah uang atau pencapaian yang nyata, oleh karna itu mitra kerja yang ramah dan mendukung mendorong kepuasan kerja, perilaku atasan dan bawahan juga menjadi penentu pentingnya kepuasan kerja
3. Chiseli dan Brown mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dapat menimbulkan kepuasa kerja yaitu :
ü  Kedudukan
ü  Pangkat Kerja
ü  Masalah Umur
ü  Jaminan finansial dan jaminan sosial
ü  Mutu Pengawasan


4.  Harold E. Burt, mengemukakan pendapat tentang faktor-faktor yang ikut menentukan kepuasan kerja sebagai berikut :
ü  Faktor hubungan antar karyawan
ü  Faktor-faktor Individual
ü  Faktor-faktor luar
5.      Pendapat Gilmer tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai berikut :
ü  Kesempatan untuk maju
ü  Keamanan kerja
ü  Gaji
ü  Perusahaan dan manajemen
ü  Pengawasan (Supervisi)
ü  Faktor intrinsik dari pekerjaan
ü  Kondisi kerja
ü  Aspek sosial dalam pekerjaan
ü  Komunikasi
ü  Fasilitas
C.  Teori-Teori kepuasan kerja
Menurut Wexley dan Yukl  teori-teori tentang kepuasan kerja ada beberapa macam yang lazim dikenal yaitu:
1.      Teori Perbandingan Intrapersonal (Discrepancy Theory)
Kepuasan atau ketidakpuasan yang dirasakan oleh individu merupakan hasil dari perbandingan atau kesenjangan yang dilakukan oleh diri sendiri terhadap berbagai macam hal yang sudah diperolehnya dari pekerjaan dan yang menjadi harapannya. Kepuasan akan dirasakan oleh individu tersebut bila perbedaan atau kesenjangan antara standar pribadi individu dengan apa yang diperoleh dari pekerjaan kecil, sebaliknya ketidakpuasan akan dirasakan oleh individu bila perbedaan atau kesenjangan antara standar pribadi individu dengan apa yang diperoleh dari pekerjaan besar.
2.      Teori Keadilan (Equity Theory)
Seseorang akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity atau inequity atas suatu situasi diperoleh seseorang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor, maupunditempat lain.
3.      Teori hirarki Maslow
Teori Maslow adalah kebutuhan tersusun dalam suatu hierarki. Kebutuhan ditingkat pertama yang paling rendah adalah kebutuhan fisiologi, dan kebutuhan tingkat tinggih adalah kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan tersebut didefinisikan sebagai berikut:
ü  Fisiologi (phsysiological) . kebutuhan yang paling dasar yaitu kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal dan bebas dari sakit
ü  Keamanan dan keselamatan (safety and security). kebutuhan untuk aman dari      ancaman fisik maupun psikologi
ü  Kebersamaan, sosial dan cinta,kebutuhan akan pertemanan , interaksi dan cinta
ü  Harga diri (esteem).kebutuhan akan harga diri dan rasa hormat dari orang lain
ü  Aktualisasi diri (selft-actualization). Kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dengan cara maksimum menggunakan kemampuan, keterampilan dan potensi.
4.      Teori Dua – Faktor ( Two Factor Theory )
Teori ini dikenal sebagai teori motivasi dua faktor (hygien-motivasi) bisa juga disebut faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik ( faktor ketidakpuasan kerja hygien factor) meliputi: upah, jaminan pekerjaan, kondisi kerja,`status, prosedur perusahaan, mutu supervisi, hubungan antar pribadi diantara rekan sekerja, dengan atasan dan dengan bawahan.  Sedangkan faktor intrinsik (faktor pemuas atau motivator) meliputi: prestasi, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, kemungkinan berkembang. Jadi suatu kondisi kerja
Prinsip dari teori ini adalah bahwa kepuasan dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda. Menurut teori ini, karakteristik pekerjaan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yang satu dinamakan Dissatisfier atau hygiene factors dan yang lain dinamakan satisfier atau motivators.
Satisfier atau motivators adalah faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari prestasi, pengakuan, wewenang, tanggungjawab dan promosi. Dikatakan tidak adanya kondisi-kondisi ini bukan berarti membuktikan kondisi sangat tidak puas, tetapi kalau ada, akan membentuk motivasi kuat yang menghasilkan prestasi kerja yang baik. Oleh sebab itu faktor ini disebut sebagai pemuas.                                       gghgvh
Hygiene factors adalah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber kepuasan, terdiri dari gaji, insentif, pengawasan, hubungan pribadi, kondisi kerja dan status. Keberadaan kondisi-kondisi ini tidak selalu menimbulkan kepuasan bagi karyawan, tetapi ketidakberadaannnya dapat menyebabkan ketidakpuasan bagi karyawan.  Sebuah kelompok psikolog Universitas Minnesota pada akhir tahun 1950-an membuat suatu program riset yang berhubungan dengan problem umum mengenai penyesuaian kerja. Program ini mengembangkan sebuah kerangka konseptual yang, diberi nama Theory of Work Adjustment (Wayne danCascio,).
Theory of Work Adjustment didasarkan pada hubungan antara individu dengan lingkungan kerjanya. Hubungan tersebut dimulai ketika individu memperlihatkan kemampuan atau keahlian yang memungkinkan untuk memberikan tanggapan terhadap kebutuhan kerja dari suatu lingkungan kerja. Dari lain pihak, lingkungan kerja menyediakan pendorong atau penghargaan tertentu seperti gaji, status, hubungan pribadi, dan lain-lain dalam hubungannya dengan kebutuhan individu.
Jika individu memenuhi persyaratan kerja, maka karyawan akan dianggap sebagai pekerja-pekerja yang memuaskan dan diperkenankan untuk tetap bekerja di dalam badan usaha.
Di lain pihak, jika kebutuhan kerja memenuhi kebutuhan individu atau memenuhi kebutuhan kerja, pekerja dianggap sebagai pekerja-pekerja yang puas.
Individu berharap untuk dievaluasi oleh penyelia sebagai pekerja yang memuaskan ketika kemampuan dan keahlian individu memenuhi persyaratan kerja. Apabila pendorong-pendorong dari pekerjaan memenuhi kebutuhan kerja dari individu, mereka diharapkan untuk jadi pekerja yang puas. Seorang karyawan yang puas dan memuaskan diharapkan untuk melaksanakan pekerjaannya. Jika kemampuan dan persyaratan kerja tidak seimbang, maka pengunduran diri, tingkat pergantian, pemecatan dan penurunan jabatan dapat terjadi.

D.  Dampak Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja
1. Produktifitas atau kinerja (Unjuk Kerja)
Lawler dan Porter mengharapkan produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa ganjaran instrinsik dan ganjaran ekstrinsik yang diterima kedua-duanya adil dan wajar dan diasosiasikan dengan unjuk kerja yang unggul. Jika tenaga kerja tidak mempersepsikan ganjaran intrinsik dan ekstrinsik yang berasosiasi dengan unjuk kerja, maka kenaikan dalam unjuk kerja tidak akan berkorelasi dengan kenaikan dalam kepuasan kerja. Asad (2004, p. 113).
2. Ketidakhadiran dan Turn Over
Porter & Steers mengatakan bahwa ketidakhadiran dan berhenti bekerja merupakan jenis jawaban yang secara kualitatif berbeda. Ketidakhadiran lebih bersifat spontan sifatnya dan dengan demikian kurang mungkin mencerminkan ketidakpuasan kerja. Lain halnya dengan berhenti bekerja atau keluar dari pekerjaan, lebih besar
kemungkinannya berhubungan dengan ketidakpuasan kerja.
Menurut Robbins ketidakpuasan kerja pada tenaga kerja atau karyawan dapat diungkapkan ke dalam berbagai macam cara. Misalnya, selain meninggalkan pekerjaan, karyawan dapat mengeluh, membangkang, mencuri barang milik organisasi, menghindari sebagian dari tanggung jawab pekerjaan mereka.

Empat cara mengungkapkan ketidakpuasan karyawan,
ü  Keluar (Exit): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan meninggalkan pekerjaan. Termasuk mencari pekerjaan lain.
ü  Menyuarakan (Voice): Ketidakpuasan kerja yang diungkap melalui usaha aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi termasuk memberikan saran perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasannya.
ü  Mengabaikan (Neglect): Kepuasan kerja yang diungkapkan melalui sikap membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, termasuk misalnya sering absen atau dating terlambat, upaya berkurang, kesalahan yang dibuat makin banyak.
ü  Kesetiaan (Loyality): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan menunggu secara pasif sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk membela perusahaan terhadap kritik dari luar dan percaya bahwa organisasi dan manajemen akan melakukan hal yang tepat untuk memperbaiki kondisi.
E.      Relevansi Kepuasan Kerja dalam Lembaga  Pendidikan.
Pendidikan sebagai sebuah proses penyelenggara pendidikan mengharapkan suatu outcome pendidikan yang memuaskan yang meliputi antara lain :
1.        Pemerataan Pendidikan
2.        Kualitas Pendidikan
3.        Relevansi Pendidikan
4.        Efisiensi Pendidikan
5.        Efektivitas Pendidikan
Lembaga pendidikan penyelenggara pendidikan sudah barang tentu melibatkan masyarakat, pemerintah dan orang tua di dalam memperoleh outcome atau produktivitas pendidikan sebagaimana tersebut di atas. Hal ini apabila outcome tersebut diperoleh dengan memuaskan maka yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan akan timbul kepuasan. Khusus bagi ketenagaan pendidikan dan non ketenagaan kependidikan (birokrasi pendidikan) merupakan suatu kepuasan kerja yang positif dan sebaliknya apabila outcome tersebut diperoleh kurang memuaskan maka akan timbul ketidakpuasan.
Kepuasan kerja dan ketidakpuasan dalam penyelenggaraan pendidikan akan menimbulkan perilaku individu dalam organisasi. Yang merupakan interaksi dari karakteristik individu dan karakteristik organisasi pendidikan. Dengan perkataan lain kepuasan harus menjadi tujuan utama organisasi setelahnya produktivitas atau outcome pendidikan.











Selaras dengan era Otonomi Daerah (Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999) maka bergulir pula era Otonomi Pendidikan (desentralisasi) yang sudah barang tentu merubah paradigma pendidikan lama ke paradigma pendidikan baru yang meliputi berbagai aspek sebagai berikut (Jalal dan Supriadi.2001) :
Paradigma Lama
Paradigma Baru
·         Sentralistik
·         Kebijakan yang top down
·         Orientasi pengembangan parsial pendidikan untuk pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan teknologi perakitan
·         Peran serta pemerintah sangat dominan
·         Lemahnya peran instusi non sekolah
·         Desentralistik
·         Kebijakan yang bottom up
·         Orientasi pengembangan holistik pendidikan untuk mengembangkan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya menjunjung tinggi moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, kesadaran hukum.
·         Meningkatkan peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif.
·         Pemberdayaan institusi masyarakat, keluarga, LSM, pesantren dan dunia usaha
















BAB III
KESIMPULAN
  1. Bahwa kepuasan kerja merupakan suatu cara pandang seseorang yang bersifat positif maupun negatif tentang pekerjaannya. Yang sudah barang tentu akan mempengaruhi perilaku organisasi, termasuk ketidakpuasan kerja
  2. Bahwa kepuasan kerja berkaitan dengan organisasi pendidikan akan terlihat dari outcome atau produktivitas pendidikan yang diperoleh memuaskan atau tidak memuaskan sehingga sudah barang tentu akan mempengaruhi juga perilaku organisasi pendidikan




















DAFTAR PUSTAKA

John R. Schermerhorn, James G. Hut And Richard N. Osborn, Organizational Behavior, Tenth Edition (New York: John Wiley & Son, Inc, 2007)

James L, Gibson, John M. Ivancevich, James H. Donnelly, Jr, Organizations Behavior Stucture Process, Chicago: Irwin Book Team, 1997)

Fred Luthan, Organizational Behavior, (New York: Mc Graw-Hill,2008)

Robbert Kreitner dan Angelo Kinicki, Organizational Behavior Key Concepts, Skill & Best Practices, (New York: Mc Graw-Hill,2008)

Stephen P. Robbins and Mary Coulter, Management,Pearson International Edition,(New Jesery: Pearson Prentice Hall,2007)

http://teorionline.wordpress.com/2010/01/25/definisi-kepuasan-kerja/









[1] John R. Schermerhorn, James G. Hut And Richard N. Osborn, Organizational Behavior, Tenth Edition (New York: John Wiley & Son, Inc, 2007),p.70
[2] Stephen P. Robbins and Mary Coulter, Management,Pearson International Edition,(New Jesery: Pearson Prentice Hall,2007),p,421
[3] James L, Gibson, John M. Ivancevich, James H. Donnelly, Jr, Organizations Behavior Stucture Process, (Chicago: Irwin Book Team, 1997),p,356
[4] Fred Luthan, Organizational Behavior, (New York: Mc Graw-Hill,2008),p,141

[5] Robbert Kreitner dan Angelo Kinicki, Organizational Behavior Key Concepts, Skill & Best Practices, (New York: Mc Graw-Hill,2008),p,163
[6] Ibid
[7] http://teorionline.wordpress.com/2010/01/25/definisi-kepuasan-kerja/

manajemen stres


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai orang yang mengalami stres. Stres tersebut tidak hanya dalam kehidupan sosial-ekonominya saja tetapi juga dalam bekerja. Pekerjaan yang terlalu sulit serta keadaan sekitar yang penat juga akan dapat menyebabkan sters dalam bekerja.
Banyak orang yang tidak menyadari gejala timbulnya stres tersebut dalam kehidupannya padahal apabila kita mengetahui lebih awal mengenai gejala stres tersebut kita dapat mencegahnya. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan maksud agar terjaminnya keamanan dan kenyamanaan dalam bekerja. Apabila seseorang yang mengalami stres melakukan pekerjaan itu malah akan mengganggu kestabilan dalam bekerja.
Untuk menjaga kestabilan kerja tersebut psikologi seseorang juga harus stabil agar terjadi singkronisasi yang harmonis antara faktor kejiwaan serta kondisi yang terjadi. Jadi kita harus benar-benar memperhatikan secara lebih baik lingkungan yang dapat mempengaruhi psikologi (kejiwaan) seseorang sehingga stres dapat dicegah.
Namun tidak dapt dipungkiri bahwa stres dalam bekerja pasti akan terjadi pada setiap karyawan/pekerja. Mereka mengalami stres karena pengaruh dari pekerjaan itu sendiri maupun lingkungan tempat kerja. Seseorang yang mengalami stres dalam bekerja tidak akan mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.disinilah muncul peran dari organisasi untuk memperhatikan setiap kondisi kejiwaan (stres) yang dialami oleh pekerjanya. Dalam hal ini organisasi dapat menentukan penanganan yang terbaik bagi pekerja tersebut serta tidak mengurangi kinerja karyawan tersebut.
Melihat kejadian stres yang sering terjadi serta bagaimana penangannya yang baik kami akan membahasanya dalam makalah ini agar kita bisa mengetahui bagaimana stres dan penanggulangannya serta pencegahan stres itu terutama dalam bekerja. Secara lebih jelas mengenai stres dan stres kerja akan kami bahas pada Bab II. Yang akan memberikan gambaran mengenai stres yang sering dialami.

B.  Tujuan
               Adapun beberapa tujuan yang ingin kami sampaikan dalam makalah ini adalah:
1.    Untuk lebih mengerti mengenai stres dan stres kerja.
2.    Untuk memehami mengenai jenis-jenis stres.
3.    Untuk mengetahui model stres.
4.    Untuk mengetahui moderator stres.
5.    Agar kita menegtahui apa saja gejala stres dan dampak yang dapat ditimbulkan oleh stres tersebut.
6.    Agar kita tahu bagaimana cara mencegah stres.

C.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan kami bahas dalam penulisan makalah ini antara lain:
1.    Apa yang dimaksud dengan stres dan stres kerja?
2.    Apa saja jenis-jenis stres?
3.    Seperti apa model stres tersebut?
4.    Apa saja moderator stres?
5.    Apa saja gejala stres dan dampaknya?
6.    Bagaimana cara mencegah dan mengurangi stres yang terjadi?




BAB II
PEMBAHASAN


A.   Pengertian Stres dan Stres Kerja
Masalah Stres kerja di dalam organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses beriikir dan kondisi fisik individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja mereka, seperti : mudah marah dan agresi, tidak dapat relaks, emosi yang tidak stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak mampu terlibat, dan kesulitan dalam masalah tidur.
Menurut Robbins, stress is a dynamic condition in which an individual is confronted with an opportunity, deman, or resource related to what the individual desires and for which the outcome is perceived to be both uncertain and important.[1] Didefinisikan bahwa stres merupakan suatu kondisi dinamis di mana individu dihadapkan dengan kesempatan, tuntutan, atau sumber daya terkait dengan apa yang menjadi keinginan dan hasil yang  diperoleh sangatlah penting tetapi tidak dapat dipastikan.
Selanjutnya, Gibson dan kawan-kawan juga mengemukakan bahwa stres adalah suatu tanggapan penyesuaian, diperantai oleh perbedaan-perbedaan individu dan/atau proses psikologis, yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan dari luar (lingkungan), situasi, atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan/atau fisik berlebihan kepada seseorang.[2]
Dari kedua definisi di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa stres tidak dengan sendirinya dianggap jelek, walaupun lazimnya dibahas dalam konteks negatif. Karena stres juga memiliki nilai positif (peluang) jika stres itu menawarkan perolehan yang potensial. Kadangkala orang membutuhkan stres untuk membuat dirinya berhasil mengerjakan sesuatu.
Di kalangan para pakar sampai saat ini belum terdapat kata sepakat dan  kesamaan persepsi tentang batasan stres. Baron & Greenberg (dalam Margiati)[3], mendefinisikan stres sebagai reaksi-reaksi emosional dan psikologis yang terjadi pada situasi dimana tujuan individu mendapat halangan dan tidak bisa mengatasinya. Aamodt (dalam Margiati) memandangnya sebagai respon adaptif yang merupakan karakteristik individual dan konsekuensi dan tindakan ekstcrnai, situasi atau peristiwa yang terjadi baik secara fisik maupun psikologis.
Berbeda dengan pakar di atas, Landy (dalam Margiati)[4] memahaminya sebagai ketidakseimbangan keinginan dan kemampuan memenuhinya sehingga menimbulkan konsekuensi pcnting bagi dirinya.
Menurut Mangkunegara, stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stres kerja ini terlihat antara lain dari emosi yang tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok berlebihan, tidak bisa rileks, lemas, gugup, tekanan darah meningkat, dan mengalami gangguan pencernaan.[5]
Secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapakan pada tuntutan pekerjaan melampaui kemampuan individu tersebut, maka dikatakan bahwa individu itu telah mengalami stres kerja. Seorang karyawan dapat dikatakan telah mengalami stres kerja bila urusan stres yang dialaminya melibatkan juga pihak organisasi di mana ia bekerja dan dapat mengakibatkan dampak negatif bagi dirinya dan lembaga di mana ia bekerja.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya stres kerja adalah dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan.

B.   Jenis-Jenis Stres
Quick dan Quick (1984)[6] mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
1)    Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
2)    Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.

C.   Model Stres
Pada gambar di bawah ini menampilkan sebuah model instruksi dari sebuah stress yang berkaitan dengan pekerjaan. Model tersebut menunjukkan bahwa empat jenis stressor mengarah pada stress yang dirasakan, yang pada gilirannya, memunculkan berbagai hasil. Model tersebut juga menggolongkan beberapa perbedaan individual yang memoderatkan hubungan stressor-stres-hasil.[7]

Gambar: Model Stres Pekerja

     
        Stresor                                                                                   Hasil






 








                                         
Keperilakuan
·   Ketidakhadiran
·   Tingkat perputaran pegawai
·   Kinerja
·   Kecelakaan
·   Penyalahgunaan substansi
 
  Stres yang
                                             dirasakan























 















  1. Stresor
Stresor (Stressor) adalah faktor-faktor penyebab yang menimbulkan stress. Dengan kata lain, stresor adalah suatu prasyarat untuk mengalami respon stres. Gambar di atas menunjukkan empat jenis utama stresor yaitu individual, kelompok, organisasi dan diluar organisasi.
a.    Tingkat Individual
              Stressor tingkat individual adalah stressor yang berkaitan secara langsung dengan tugas-tugas kerja seseorang. Contoh stressor yang paling umum adalah tuntutan pekerjaan, kelebihan beban kerja, konflik peran, ambiguitas peran, kerepotan sehari-hari, pengendalian yang dirasakan atas peristiwa yang muncul dalam lingkungan kerja, dan karakteristik pekerjaan.
              Para manajer dapat membantu mengurangi stressor ini dengan memberikan arahan dan dukungan dan secara adil mengalokasikan penugasan pekerjaan di dalam unit kerja. Akhirnya, keamanan kerja adalah stressor tingkat individual yang penting untuk dikelola karena berkaitan dengan meningkatnya kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan kinerja, dan hal ini sedang mengalami penurunan.
b.    Tingkat Kelompok
                    Stressor tingkat kelompok disebabkan oleh dinamika kelompok dan perilaku manajerial. Para manajer menciptakan stress pada karyawan dengan:
1)    menunjukkan perilaku yang tidak konsisten
2)    gagal memberikan dukungan
3)    menunjukkan kekurangpedulian
4)    memberikan arahan yang tidak memadai
5)    menciptakan suatu lingkungan dengan produktivitas yang tinggi
6)    memfokuskan pada hal-hal negatif sementara itu mengabaikan kinerja yang baik


c.    Tingkat Organisasi
              Stresor organisasi mempengaruhi sebagian besar karyawan. Sebagai contoh, sebuah lingkungan dengan tekanan yang tinggi menempatkan permintaan kerja yang terus-menerus pada karyawan akan menyalakan respon stres. Sebaliknya penelitian menyediakan dukungan awal untuk gagasan bahwa manajemen partisipatif dapat mengurangi stres organisasional. Meningkatnya penggunaan teknologi informasi merupakan suatu sumber lain dari stres organisasional.
              Sebagai tambahan atas beberapa jenis stresor ini, sebagian orang juga fobia terhadap teknologi. Akhirnya, desain kantor dan lingkungan umum kantor merupakan stresor tingkat organisasional yang penting. Penelitian menunjukkan bahwa penerangan yang buruk, suara yang bising, penempatan perabot yang tidak tepat, dan suatu lingkungan kotor atau bau akan menciptakan stres.
d.    Ekstraorganisasional
              Stresor diluar organisasi (extra organizational stressors) adalah stressor yang disebabkan oleh faktor di luar organisasi. Sebagai contoh, konflik yang berkaitan dengan penyeimbangan kehidupan karier dan keluarga seseorang sangatlah membuat stress. Status sosial ekonomi adalah stresor ekstra organisasional yang lain. Stres yang lebih tinggi terjadi pada orang-orang dengan status sosial ekonomi lebih rendah, yang menggambarkan suatu kombinasi dari:
1)    Status ekonomi, sebagaimana diukur dengan pendapatan
2)    Status sosial, yang dinilai dengan tingkat pendidikan
3)    Status kerja, sebagaimana diindekskan oleh pekerjaan.

2.    Stres yang Dirasakan
Stres yang dirasakan menggambarkan persepsi keseluruhan seseorang individu mengenai bagaimana berbagai stresor mempengaruhi kehidupannya. Persepsi terhadap stresor ini merupakan suatu komponen yang penting di dalam proses stres karena orang menginterprestasikan stresor yang sama secara berlainan.

3.    Hasil
Para ahli teori menyatakan bahwa stres memiliki konsekuensi atau hasil psikologis yang berkaitan dengan sikap, keprilakuan, kognitif, dan kesehatan fisik. Sebuah badan penelitian yang besar mendukung dampak negatif dari stres yang dirasakan pada banyak aspek kehidupan kita. Stres berkaitan secara negatif dengan kepuasan kerja, komitmen organisasional, emosi positif, dan kinerja yang berhubungan secara positif dengan tingkat perputaran yang disebabkan oleh kepenatan.

4.    Perbedaan Individual
Orang tidak mengalami tingkat stres yang sama atau menunjukkan hasil yang serupa untuk suatu jenis stresor tertentu. Sebagai contoh, jenis stresor yang dialami di tempat kerja bervariasi menurut pekerjaan dan jenis kelamin. Stresor untuk pengendalian yang rendah adalah lebih tinggi pada pekerjaan klerikal tingkat rendah daripada pekerjaan profesional, dan konflik antar pribadi merupakan suatu sumber stres yang lebih besar bagi kaum wanita daripada kaum pria. Pengendalian yang dirasakan juga merupakan suatu moderator yang signifikan dari proses stres. Orang merasakan tingkat stres yang lebih rendah dan mengalami konsekuensi yang lebih mendukung pada saat mereka percaya bahwa mereka dapat mengendalikan stresor yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Akhirnya, ciri kepribadian kekerasan atau sisinme yang kronis juga memoderatkan stres. Penelitian menunjukan bahwa orang yang secara terus-menerus marah, ingin tahu, tidak mudah percaya akan memiliki kemungkin dua kali lipat lebih besar untuk mengalami penutupan ateri koroner. Walaupun para peneliti telah mampu mengidentifikasi beberapa moderator yang penting, masih terdapat suatu jurang yang lebar dalam mengidentifikasi perbedaan individual yang relevan.

D.   Moderator Stres
Stressor membangkitkan berbagai respons yang berbeda dari orang yang berbeda. Beberapa orang lebih mampu menghadapi suatu stressor  daripada orang lain. Dilain pihak, orang lain rentan terhadap stress, ini berarti mereka tidak mampu beradaptasi dengan stressor. Suatu moderator adalah suatu kondisi, prilaku, atau karakteristik yang mempengaruhi hubungan antara dua variabel. Efeknya mungkin akan memperkuat atau memperlemah hubungan. Banyak  kondisi, prilaku dan karekteristik mungkin bertindak sebagai moderator stress, termasuk variable-variabel seperti usia, jenis kelamin dan tingkat ketabahan. Tipe-tipe moderator antara lain (1) kepribadian, (2) prilaku tipe A (3) dukungan sosial, (4) penanggulangan..
(1)  Kepribadian
Istlah kepribadian merujuk pada serangkaian karekteristik, temperamen, dan kecenderungan yang relativ stabil, yang membentuk kemiripan dan perbedaan dalam prilaku orang. Kepribadian dibuat dari lima dimensi yaitu: exstroversion, emotional stability, agreeableness, consientiousness, dan openness to experience. Emotional stability merupakan hubungan yang paling jelas dalam stress, dan cenderung tidak kewalahan dengan stress dan lebih cepat pulih. Exstroversion juga lebih cenderung mengalami keadaan emosional positif karena mereka banyak mendapat dukungan saat tertekan.  Agreeableness lebih cenderung untuk bersifat antagonis, tidak simaptik dan bahkan kasar terhadap orang lain dan kemungkinan stress berasala dariorang lain. Consientiousness merupakan dimensi Big Fife yang secara konsisten berhubungan dengan kinerja dan keberhasilan pekerjaan dan lebih cenderung tidak mengalami stress berkenaan dengan aspek ini dalam pekerjaan mereka. Openness to experience akan lebih siap untuk berhadapan dengan stressor yang dihubungkan dengan perubahan karena mereka lebih mungkin untuk memndang perubahan sebagai suatu tantangan dan bukan ancaman.
(2)  Perilaku tipe A
Definisi perilaku tipe A menurut Meyer Friedman dan Ray Rosenman adalah suatu kompleks tindakan emosi yang dapat diamati dalam setiap orang yang terlibat secara agresif dalam suatu perjuangan yang terus menerus dan tak henti-henti untuk mencapai hal yang lebih lagi dalam waktu yang lebih singkat dan lebih singkat lagi dan jika perlu melawan usaha yang berkebalikan dari orang atau hal lain.
Adapun karakteristik tipe A antara lain :
(a)      Secara kronik berusaha untuk menyelesaikan sebanyak mungkin hal dalam priode waktu yang sangat singkat
(b)      Agresif, ambisius, kompetititf, dan penuh energi
(c)      Berbicara dengan meledak-ledak, mendorong orang lain untuk menyelesaikan apa yang mereka katakan.
(d)      Tidak sabar, tidak suka menunggu dan menganggap menunggu sebagai membuang waktu yang berharga.
(e)      Sibuk dengan tenggat waktu dan berorientesi pada pekerjaan
(f)       Selalu berjuang dengan orang, hal, dan peristiwa.
Penelitian tipe A dan impilkasi manajemen, para karyawan tipe A cenderung lebih produktif daripada rekan kerja mereka yang bertipe B. Suatu analisis yang terdiri dari 99 penelitian mengungkapkan bahwa individu tipe A memiliki detak jantung yang lebih cepat, tekanan darah diastolik yang lebih tinggi dan tekanan darah sistolik yang lebih tinggi daripada orang tipe B.
           Orang tipe A juga menunjukkan aktivitas kardiovaskuler yang lebih besar pada saat menghadapisituasi berikut ini.
1.    Menerima umpan balik positif atau negative
2.    Menerima pelecehan atau kritik verbal
3.    Tugas yang memerlukan mental kebalikan dengan pekerjaan fisik.

(3)  Dukungan sosial
Dukungan sosial dapat didefinisikan sebagai rasa nyaman, bantuan, atau informasi yang diterima seseorang melalui kontak formal atau informal dengan individu atau kelompok. Dukungan sosial bisa berbentuk dukungan emosi (mengekspresikan kekhawatiran, mengindikasikan kepercayaan, meningkatkan harga diri, mendengarkan), dukungan penilaian (menyediakan umpan balik dan afirmasi), atau dukungan informasi (memberikan nasihat, memberikan saran, menyediakan pengarahan).
0rang yang dapat berperan sebagai sumber dari dukungan sosial di tempat kerja dapat mencakup supervisor, rekan kerja, bawahan, dan konsumen atau orang-orang di luar tempat kerja yang dikenal oleh karyawan. Sumber dukungan di luar ruang lingkup pekerjaan dapat mencakup anggota keluarga, teman, dan lain-lain. Ada empat jenis dukungan sosial :
1)    Dukungan penghargaan, memberikan informasi bahwa seseorang di terima dan di hargai terlepas dari berbagai persoalan atau ketidakcukupan apapun.
2)    Dukungan informasional, memberikan bantuan dalam mendefinisikan, memahami, dan menanggulangi persoalan.
3)    Persahabatan sosial, menghabiskan waktu dengan orang lain dalam kesenangan dan aktivitas rekreasi.
4)    Dukungan instrumental, memberikan bantuan keuangan, sumber daya materiil, atau pelayanan yang di butuhkan.
(4)  Penanggulangan
Penanggulangan adalah proses mengelola permintaan (eksternal atau internal) yang di nilai sebagai beban atau melebihi sumber daya seseorang. Karena penanggulangan yang efektif maka mampu membantu mengurangi pengaruh stressor dan stress. Proses penanggulangan memiliki tiga komponen utama : 1) faktor situasional dan pribadi, 2) penilaian kognitif atas stressor, dan 3) strategi penanggulangan.
1)     Faktor situasional dan pribadi
        Faktor situasional adalah ciri-ciri lingkungan yang mempengaruhi orang yang menginterpretasikan stressor. Contohnya : ambiguitas dari suatu situasi seperti berjalan di sebuah jalan yang gelap.
        Faktor pribadi adalah ciri kepribadian dan sumber daya pribadi yang memengaruhi penilaian atas stressor. Contoh : karena  lelah atau sakit dapat mengganggu interpretasi atas stressor, seorang individu yang sangat lelah mungkin akan menilai pertanyaan yang sangat polos sebagai suatu ancaman atau tantangan.
2)      Penilaian kongnitif atas stressor
        Penilaian kongnitif mencerminkan persepsi keseluruhan seorang individu atau evaluasi atas sebuah situasi atau stressor. Penilaian kongnitif mengakibatkan suatu penggolongan situasi atau stressor sebagai membahayakann mengancam, atau menantang. Bahaya (termasuk kerugian) menggambarkan kerusakan yang telah terjadi, ancaman melibatkan potensi untuk bahaya dan tantangan, berarti potensi untuk keuntungan yang signifikan dibawah ketidakbiasaan yang sulit. Penanggulangan dengan bahaya biasanya berlanjut dengan tidak melakukan atau pengintrepretasian ulang sesuatu yang muncul dimasa lalu karena kerusakan telah terjadi.
3)    Strategi penanggulangan
        Strategi penanggulangan dicirikan dengan prilaku dan pengenalan khusus yang digunakan untuk menanggulangi suatu situasi. Orang menggunakan suatu kombinasi dari tiga pendekatan untuk menanggulangi steresor dan steres. Pertama, disebut sebagai strategi pengendalian, terdiri atas penggunaan prilakudan pengenalan untuk menghadapi atau memecahkan persoalan secara langsung.
        Suatu strategi pengendalian cenderung bersifat mengambil yanggung jawab. Berlawanan dengan menangani persoalan menagani persoalan secara langsung stategi melarikan diri berusaha untuk menghindari persoalan. Stratesi manajemen gejala terdiri atas penggunaan metode-metode seperti relaksasi, meditasi, pengobatan, atau latihan untuk mengatur gejala stres yang berkaitan dengan pekerjaan.

E.   Gejala-Gejala dan Dampak Stres

1.      Gejala-Gejala Stres
Terry Beehr dan John Newman dalam Rice,[8] mengkaji ulang beberapa kasus stres pekerjaan dan menyimpulkan tiga gejala dari stres pada individu, yaitu:
a)    Gejala psikologis
Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis yang sering ditemui pada hasil penelitian mengenai stres pekerjaan :
1.    Kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung
2.    Perasaan frustrasi, rasa marah, dan dendam (kebencian)
3.    Sensitif dan hyperreactivity
4.    Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi
5.    Komunikasi yang tidak efektif
6.    Perasaan terkucil dan terasing
7.    Kebosanan dan ketidakpuasan kerja
8.    Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan konsentrasi
9.    Kehilangan spontanitas dan kreativitas
10. Menurunnya rasa percaya diri
b)        Gejala fisiologis
Gejala-gejala fisiologis yang utama dari stres kerja adalah:
1.    Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan mengalami penyakit kardiovaskular
2.    Meningkatnya sekresi dari hormon stres (contoh: adrenalin dan noradrenalin)
3.    Gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung)
4.    Meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan
5.    Kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom kelelahan yang kronis (chronic fatigue syndrome)
6.    Gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada
7.    Gangguan pada kulit
8.    Sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot
9.    Gangguan tidur
10. Rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker
c)        Gejala Perilaku
Gejala-gejala perilaku yang utama dari stres kerja adalah:
1.    Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan
2.    Menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas
3.    Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan
4.    Perilaku sabotase dalam pekerjaan
5.    Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan, mengarah ke obesitas
6.    Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi
7.    Meningkatnya kecenderungan berperilaku beresiko tinggi, seperti menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi
8.    Meningkatnya agresivitas, vandalisme, dan kriminalitas
9.    Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman
10. Kecenderungan untuk melakukan bunuh diri
Adapun gejala-gejala stres di tempat kerja yang sering terjadi, yaitu meliputi:
1.    Kepuasan kerja rendah
2.    Kinerja yang menurun
3.    Semangat dan energi menjadi hilang
4.    Komunikasi tidak lancar
5.    Pengambilan keputusan jelek
6.    Kreatifitas dan inovasi kurang
7.    Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif.
Semua yang disebutkan di atas perlu dilihat dalam hubungannya dengan kualitas kerja dan interaksi normal individu sebelumnya.

2.    Dampak Stres
Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun organisasi. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustrasi dan sebagainya[9]. Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi, dan sebagainya.
Bagi organisasi, konsekuensi yang timbul dan bersifat tidak langsung adalah meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat produktivitas, dan secara psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teralienasi, hingga turnover (Greenberg & Baron, 1993; Quick & Quick, 1984; Robbins, 1993).
Dampak dari stres kerja menyangkut berbagai aspek antara lain sebagai berikut: 1) dampak subjektif, berupa tindakan agresif, apatis, depresi, frustasi, cepat marah, rendah diri, gagap, dan rasa kesendirian; 2) dampak perilaku, berupa penggunaan alkohol, narkoba, makan dan merokok terlalu banyak, impulsif dan tertawa gagap; 3) dampak kognitif, berupa tingkat konsentrasi yang rendah, rentang perhatian yang pendek, dan hipersensitif pada kritik; 4) dampak fisiologis, berupa gula darah meningkat, meningkatnya tekanan darah, lidah kering, berkeringat, dan panas dingin; 5) dampak organisasi, misalnya tingkat absensi yang tinggi, kepindahan, produktivitas rendah, keterasingan di tempat kerja, ketidakpuasan kerja, dan menurunnya komitmen organisasi[10]

F.    Manajemen Stres dan Teknik Pengurangan Stres
Stres dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadapi tanpa memperoleh dampaknya yang negatif. Manajemen stres lebih daripada sekedar mengatasinya, yakni betajar menanggulanginya secara adaplif dan efektif. Hampir sama pentingnya untuk mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang harus dicoba. Sebagian para pengidap stres di tempat kerja akibat persaingan, sering melampiaskan dengan cara bekerja lebih keras yang berlebihan. Ini bukanlah cara efektif yang bahkan tidak menghasilkan apa-apa untuk memecahkan sebab dari stres, justru akan menambah masalah lebih jauh. Sebelum masuk ke cara-cara yang lebih spesifik untuk mengatasi stressor tertentu, harus diperhitungkan beberapa pedoman umum untuk memacu perubahan dan penaggulangan.
Pemahaman prinsip dasar, menjadi bagian penting agar seseorang mampu merancang solusi terhadap masalah yang muncul terutama yang berkait dengan penyebab stres dalam hubungannya di tempat kerja. Dalam hubungannya dengan tempat kerja, stres dapat timbul pada beberapa tingkat, berjajar dari ketidakmampuan bekerja dengan baik dalam peranan tertentu karena kesalahpahaman atasan atau bawahan. Atau bahkan dari sebab tidak adanya ketrampilan (khususnya ketrampilan manajemen) hingga sekedar tidak menyukai seseorang dengan siapa harus bekerja secara dekat.[11]
Suprihanto dan kawan-kawan mengatakan bahwa dari sudut pandang organisasi, manajemen mungkin tidak khawatir jika karyawannya mengalami stress yang ringan. Alasannya karena pada tingkat stres lertentu akan memberikan akibat positif, karena hal ini akan mendesak mereka untuk melakukan tugas lebih baik. Tetapi pada tingkat stres yang tinggi atau stres ringan yang berkepanjangan akan membuat menurunnya kinerja karyawan. Stres ringan mungkin akan memberikan keuntungan bagi organisasi, tetapi dari sudut pandang individu hal tersebut bukan merupakan hal yang diinginkan.
Maka manajemen mungkin akan berpikir untuk memberikan tugas yang menyertakan stress ringan bagi karyawan untuk memberikan dorongan bagi karyawan, namun sebaliknya itu akan dirasakan sebagai tekanan oleh si pekerja. Maka diperlukan pendekatan yang tepat dalam mengelola stres, ada dua pendekatan yaitu pendekatan individu dan pendekatan organisasi.[12]

1)    Pendekatan Individual
Seorang karyawan dapat berusaha sendiri untuk mengurangi level stresnya. Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu; pengelolaan waktu, latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial. Dengan pengelolaan waktu yang baik maka seorang karyawan dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa. Dengan latihan fisik dapat meningkatkan kondisi tubuh agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang berat. Selain itu untuk mengurangi stres yang dihadapi pekerja pcrlu dilakukan kegiatan-kegiatan santai. Dan sebagai strategi terakhir untuk mengurangi stres adalah dengan roengumpulkan sahabat, kolega, keluarga yang akan dapat memberikan dukungan dan saran-saran bagi dirinya.

2)    Pendekatan Organisasional
Beberapa penyebab stres adalah tuntutan dari tugas dan peran serta struktur organisasi yang semuanya dikendalikan oleh manajemen, schingga faktor-faktor itu dapat diubah. Oleh karena itu strategi-strategi yang mungkin digunakan oleh manajemen untuk mengurangi stres karyawannya adalah melalui seleksi dan penempatan, penetapan tujuan, redesain pekerjaan, pengambilan keputusan partisipatif, komunikasi organisasional, dan program kesejahteraan. Melalui strategi tersebut akan menyebabkan karyawan memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan mereka bekerja untuk tujuan yang mereka inginkan serta adanya hubungan interpersonal yang sehat serta perawatan terhadap kondisi fisik dan mental.
Dalam mengatasi stres terdapat banyak teknik yang dapat dipergunakan untuk pengurangan stres yang terjadi. Empat pendekatan yang paling sering digunakan adalah relaksasi otot, biofeedback, meditasi dan restrukturisasi kognitif yang semuanya membantu para karyawan mengatasi stres yang berkaitan dengan pekerjaan.

a.    Relaksasi Otot
Sebutan persamaan yang umum dari berbagai teknik relaksasi otot adalah pernafasan yang lambat dan dalam suatu usaha yang sadar untuk memulihkan ketegangan otot. Diantara berbagai teknik yang tersedia, relaksasi progresif kontinjensi adalah yang paling sering digunakan. Tehnik ini terdiri atas menenangkan dan mengendurkan otot secara berulang-ulang yang diawali dari kaki dan terus meningkat ke muka. Relaksasi dicapai dengan berkonsentrasi pada kehangatan dan ketenangan yang berkaitan dengan otot yang dirileksasikan.
b.    Biofeedback
Dalam biofeedback, perubahan kecil yang muncul dalam tubuh atau otak di deteksi, di perkuat dan di tunjukkan kepada orang tersebut. Peran potensial dari biofeedback sebagai teknik manajemen stress individu dapat di lihat dari fungsi tubuh hingga tekanan tertentu yang di kendalikan secara sukarela atau sadar.  Potensi biofeedback adalah kemampuannya untuk membantu relaksasi  dan mempertahankan fungsi tubuh pada  keadaan nonstres. Salah satu keunggulan tehnik biofeedback di bandingkan dengan tehnik nonbiofeedback adalah bahwa tehnik ini memberikan data yang tepat mengenai fungsi tubuh. Pelatihan biofeedback telah bermanfaat dalam mengurangi  kegelisahan, menurunkan keasaman lambung, mengendalikan tekanan dan migren, dan secara umum mengurangi manifestasi fisiologis negative dari stress.
c.    Meditasi
Meditasi mengaktifkan suatu respons relaksasi dengan mengarahkan ulang pemikiran seseorang jauh dari dirinya sendiri. Respon relaksasi adalah kebalikan fisiologis dan psikologis dari respons stres berperang atau lari. Herbert benson  menganalisis banyak program meditasi dan mendapatkan suatu respons relaksasi empat langkah. Keempat langkah tersebut adalah :
1)    Menemukan suatu lingkungan yang tenang.
2)    Menggunakan suatu perangkat mental seperti suatu kata tang penuh dengan kesan yang menyenangkan untuk mengubah fikiran dari pikiran yang berorientasi secara eksternal.
3)    Mengabaikan pemikiran yang mengganggu dengan bersandar pada suatu sikap yang pasif.
4)    Mengasumsikan suatu posisi yang nyaman
Maharishi Mahes Yogi mendefinisikan meditasi transcendental sebagai mengalihkan perhatian ke tingkat pemikiran yang lebih dalam hingga masuk ke tingkat pemikiran yang paling dalam dan mencapai sumber dari pemikiran. Tidak semua orang yang bermeditasi mengalami hasil yang positif, akan tetapi sejumlah besar orang melaporkan meditasi sebagai hal yang efektif dalam mengelola stres.

d.    Restrukturisasi kognitif
Alasan yang mendasari beberapa pendekatan individual  dalam manajemen stres di kenal sebagai restrukturisasi kognitif, adalah respons seseorang terhadap stressor menggunakan sarana proses kognitif, atau pemikiran. Asumsi dasar dari teknik ini adalah bahwa pikiran orang dalam bentuk ekspektasi, keyakinan dan asumsi merupakan label yang mereka terapkan pada situasi, dan label ini menimbulkan respons emosional terhadap situasi. Teknik kognitif dari manajemen stress berfokus pada mengubah label atau kognisi sehingga orang tersebut menilai situasi secara berbeda. Semua teknik kognitif memiliki tujuan yang serupa yaitu untuk membantu orang memperoleh lebih banyak kendali atas reaksi mereka terhadap stressor dengan memodifikasi rasionalisasi mereka.
Selain teknik pengurangan stres di atas ada beberapa kiat lagi yang dapat digunakan. Agar stres tidak berkelanjutan, adapun beberapa kiat tersebut adalah:[13]
1)    Sediakan waktu rileks
Menurut penelitian, stres yang berhubungan dengan pekerjaan dimulai sejak pagi, sebelum berangkat kerja. Daripada memikirkan beban pekerjaan (tapi tidak ada solusinya), lebih baik waktu yang terbatas tersebut digunakan untuk melakukan relaksasi seperti meditasi dan yoga. Teknik pernapasan adalah teknik relaksasi yang paling mudah untuk dilakukan. Caranya dengan menarik nafas dalam-dalam, lalu hembuskan sampai tak ada lagi udara yang tersisa di paru-paru. Lakukan minimal 3x sampai membayangkan beban telah berkurang.
2)      Bersikap lebih asertif
Kebanyakan masalah pekerjaan berpangkal dari kurangnya kesempatan untuk membuat perubahan atau keputusan. Karenanya, bicarakan dengan atasan tentang tugas Anda dan tanggungjawab tambahan yang ingin Anda pegang. Dengan demikian, Anda bisa menentukan pekerjaan yang bisa Anda lakukan dengan cara kerja seperti yang diinginkan perusahaan.
3)      Bekerja lebih efisien
Selalu kekurangan waktu untuk menyelesaikan tugas bisa jadi bukan disebabkan tugas yang berlebihan, melainkan menyangkut waktu dan cara mengerjakannya. Alex memberikan contoh seorang wartawan yang produktif di waktu malam akan merasa tertekan jika memaksakan diri menulis di waktu siang hari. Untuk mengatasinya, sebaiknya pekerjaan dibagi. Siang hari membuat outline dan mencari bahan, malam hari menyelesaikan tulisan. Untuk bekerja secara lebih efisien, dituntut juga harus trampil menentukan prioritas. Adanya urutan prioritas dapat membantu Anda mengatur strategi.
4)      Tingkatkan energi dengan tidur
“Ketika lelah, lebih mudah merasa stres karena hal-hal yang sepele,” demikian tulis Camile Anthony dalam “The Art of Napping at Work” (1999). Kesalahan juga akan membuat perhatian Anda menurun sehingga mudah melakukan kesalahan. Dalam keadaan demikian, Alex menganjurkan agar tidur. Tidur 15 menit di tengah waktu kerja akan sama manfaatnya dengan tidur malam 3 jam. Anda bisa memanfaatkan mushola kantor (tentu saja di luar waktu shalat) atau mobil Anda untuk tidur.
Jangan lupa pasang alarm agar tidak tidur terlalu lama. Jika keduanya tidak tersedia, meja kerja bisa jadi pilihan terakhir. Yang penting, tingkatkan energi segera jika sudah merasa terlalu lelah. Tidur selama 30 menit atau kurang, dapat meningkatkan mood dan rasa humor sehingga memperbaiki hubungan dengan rekan kerja. Dianjurkan agar membatasi tidur selama 30 menit saja agar tidak sampai tertidur nyenyak, yang akan membuat lebih lelah ketika bangun.
5)      Atur lingkungan kerja
Perhatikan kondisi tempat kerja, karena hal-hal yang tampaknya sepele dapat mempengaruhi performa kerja sekaligus kesehatan. Jika tidak memungkinkan mengubah lingkungan kerja secara besar-besaran, ada baiknya memulainya dari meja kerja, karena tempat kerja yang teratur menunjukkan pikiran yang teratur. Jaga lingkungan kerja, terutama meja, dari tumpukan kertas atau file. Simpan kertas-kertas dalam map dan dalam kotak file atau laci file. Juga bisa mencegah stres dengan mengubah posisi kursi dan meja. Kembangkan pola hidup sehat
Pola hidup sehat merupakan kunci untuk bebas stres. Dengan pilihan makanan dan minuman yang bisa menurunkan stres yaitu makanan yang banyak mengandung vitamin B kompleks seperti kacang-kacangan dan padi-padian. Mengurangi makanan berlemak dan perbanyak makan buah dan sayur.
Berolah raga secara teratur. Olah raga yang cukup tidak saja menyehatkan badan tapi juga memperbesar kapasitas badan tapi juga memperbesar kapasitas paru-paru sehingga mampu menampung oksigen yang lebih besar. Dengan kadar oksigen tinggal di dalam darah yang kemudian akan diedarkan ke seluruh tubuh sehingga akan berpikir lebih jernih.
6)      Tingkatkan ketrampilan
Tidak ada kata terlambat untuk mempelajari ketrampilan baru, misal jika merasa kurang mampu berkomunikasi, bisa mempelajarinya melalui buku-buku atau latihan kepemimpinan yang sering diadakan atau jika mempunyai minat terhadap tersebut, kembangkan minat Anda. Peningkatan ketrampilan akan membuat karyawan menjadi yang lebih berharga.
7)    Lupakan pekerjaan saat libur
Liburan sebaiknya benar-benar digunakan untuk istirahat. Berlibur atau santai bukan berarti membuang waktu. Selain memberikan energi tambahan yang akan membuat Anda lebih kreatif, berlibur bersama akan mempererat hubungan Anda dengan keluarga.
8)      Pekerjaan bukan segalanya
Bekerja merupakan lahan untuk aktualisasi diri. Tapi di luar pekerjaan, masih banyak kegiatan lain yang dapat menimbulkan perasaan berguna bagi pekerja. Dengan mengikuti kegiatan di luar pekerjaan, stres di tempat pekerjaan akan berkurang, dengan menyakinkan diri bahwa walaupun keadaan di tempat kerja tidak dapat diperbaiki, tetapi bisa mengendalikan hal-hal penting lainnya dalam kehidupan pekerja, karena perasaan mampu mengendalikan kehidupan adalah harta tak ternilai.
Stress kerja sekecil apapun juga harus ditangani dengan segera. Seorang ahli terkenal di bidang kesehatan jiwa, Jere Yates (1979,)[14] mengemukakan ada delapan (8) aturan main yang harus diikuti dalam mengatasi stres yaitu:
a.    Pertahankan kesehatan tubuh sebaik mungkin, usahakan berbagai cara agar tidak jatuh sakit.
b.    Terimalah diri apa adanya, segala kekurangan dan kelebihan, kegagalan maupun keberhasilan sebagai bagian dari kehidupan. 
c.    Tetaplah memelihara hubungan persahabatan yang indah dengan seseorang yang anggap paling bisa diajak curhat.
d.    Lakukan tindakan positif dan konstruktif dalam mengatasi sumber stress di dalam pekerjaan, misalnya segera mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam pekerjaan. 
e.    Tetaplah memelihara hubungan sosial dengan orang-orang di luar lingkungan pekerjaan, misalnya dengan tetangga atau kerabat dekat.
f.      Berusahalah mempertahankan aktivitas yang kreatif di luar pekerjaan, misalnya berolahraga atau berekreasi.
g.    Melibatkan diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang berguna, misalnya kegiatan sosial dan keagamaan.
h.    Menggunakan metode analisa yang cukup ilmiah dan rasional dalam melihat atau menganalisa masalah stres kerja.

BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Stres merupakan suatu gejala yang dimiliki oleh setiap orang dimana hal tersebut dipengaruhi diri sendiri maupun lingkungan sekitar mereka. Stres juga terjadi dalam kerja dimana stres tersebut dapat bersumber dari empat hal yaitu tingkat individu, tingkat kelompok, tingkat organisasi dan ekstraorganisasional. Keempat hal tersebut dapat menghasilkan stres yang berbeda pada setiap individu tergantung bagaimana individu itu merespon stressor tersebut. Setelah adanya respon barulah dapat ditentukan bagaimana stres yang dialami seseorang tersebut.
Stres yang terjadi dapat berupa stres positif maupun negatif dimana stres itu akan memberikan dampak tersendiri bagi orang yang mengalami stres. Stres-stres yang dialami pekerja tersebut masih dapat diatasi atau dikurangi dengan banyak metode sehingga diperlukannya suatu manajemen stres dalam pekerjaan suatu organisasi. Serta adanya usaha dari pekerja tersebut untuk dapat mengurangi stres yang mereka alami.
Pada dasarnya stres terjadi karena terlalu beratnya beban pikiran seseorang serta adanya tekanan yang membuat kurangnya konsentrasi. Namun semua itu masih dapat dicegah bahkan dimanajemen untuk dapat mengurangi pengaruhnya dalam bekerja.

B.   Saran
Stres dalam bekerja sebaiknya dikurangi dengan berbagi teknik pengurangan stres yang dapat digunakan serta menajemen stres tersebut dengan baik. Karena hal tersebut mampu mencegah stres dalam bekerja serta meningkatkan efektifitas dalam bekerja. Selain baik bagi karyawan/pekerja juga baik bagi organisasi.


Daftar Pustaka


Gibson, James L. John M. Ivancevich, dan James H. Donnelly, Jr., Organisasi, Perilaku, Struktur, proses. Jakarta: Binarupa Aksara, 1996

Gibson, James L. John M. Ivancevich, dan James H. Donnelly, Jr., Organization Behavior, Structure, Processes. USA: Richard D. Irwin, 1994.

Lulus Margiati, Stress Kerja: Latar Belakang Dan Alternatif Pemecahannya, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Surabaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, 1999

Mangkunegara, A. A. Anwar Prabu, Manajemen Sumber Daya Perusahaan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004

Phillip L. Rice, Stress and Health, California: Brooks/ Cole Publishing Company, 1999

Quick. J.C., Quick, J.D., Organizational Stress and Preventive Management, USA:McGraw-Hill.Inc, 1984

Robbins, Stephen P., and Timothy A., Judge, Organizational Behaviour-Fourteenth Edition New Jersey: Pearson Education, 2011

Suprihanto Jhon, Perilaku Organisasional. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, 2003








[1] Robbins, Stephen P. and Timothy A. Judge, Organizational Behaviour-Fourteenth Edition (New Jersey: Pearson Education, 2011), p. 641
[2] Gibson, Ivancevich, Donnelly, Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses. Alih bahasa Nunuk Adiarni (Jakarta: Binarupa Aksara, 1996), p. 339
[3] Margiati Lulus, (1999). Stress Kerja: Latar Belakang Dan Alternatif Pemecahannya. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, (Surabaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga), p. 71
[4] Ibid, p. 17
[5] A. A. Anwar Prabu Mangkunegara, Manajemen Sumber Daya Perusahaan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), p. 157
[6] Quick. J.C., Quick, J.D.,  Organizational Stress and Preventive Management, USA:McGraw-Hill.Inc, 1984
[8] Rice P.L., Stress and Health (Third Edition). California: Brooks/ Cole Publishing Company, 1999.
[9]  Ibid.
[10] James L. Gibson, John M. Ivancevich, dan James H. Donnelly, Jr., Organization Behavior, Structure, Processes (USA: Richard D. Irwin, 1994), p. 266-271
[11] Margiati Lulus, loc, cit., p. 76
[12] Suprihanto Jhon (2003). Perilaku Organisasional,  Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, p. 63-64